Penulis : Elvandari Solina Astandi, S. Pd (Guru di SMP Islam Tanwirul Afkar)
Jika kamu bukan anak seorang ulama, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah. – Imam Ghazali
Baru-baru ini, pemerintah di Swedia mulai mengembalikan aktivitas pendidikan tanpa gawai untuk meningkatkan mindfulness pada siswa. Di Australia, pemerintah melarang penggunaan social media pada anak di bawah usia 16 tahun demi kesehatan mental. Sistem pendidikan Jepang mewajibkan siswa menulis karangan panjang (sakkubun) untuk melatih ekspresi diri dan kemampuan reflektif. Sekolah-sekolah di Finlandia memberi banyak instruksi pra-literasi yang tersebar sepanjang pagi—misalnya, menepuk suku kata dan berirama di Morning Circle. Guru mendorong siswa untuk membuat jurnal, menulis esai, dan membuat cerita pendek sejak usia dini. Di Singapura, program literasi benar-benar menggema melalui program Born to Read, Read, Singapore!, KidsRead, serta menyediakan akses buku-buku berkualitas melalui beragam fasilitasuntuk membangun budaya literasi yang kuat, dengan fokus pada menulis analitis dan kreatif. Dalam salah satu cuplikan video wawancara dengan Prof. Stella Christie (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, & Teknologi) menyampaikan pengalamannya selama kuliah di Harvard University, di mana terdapat mata kuliah khusus menulis yang diwajibkan untuk semua mahasiswa. Harvard percaya bahwa kemampuan menulis adalah keterampilan fundamental yang dapat meningkatkan kualitas intelektual mahasiswa. Lantas bagaimana dengan budaya literasi baca tulis di negara kita? Sudahkah kebijakan-kebijakan pemerintah berpihak pada kebutuhan belajar siswa?