Penulis : Muhammad Fahruddin Al Mustofa (MI Muslimat NU Pucang Sidoarjo)
Ada salah satu faidah menarik perihal Mad (bacaan panjang) dalam surat Al-Kahfi. Tepatnya pada ayat-ayat yang membahas kisah perjalanan Nabi Musa dengan Hamba yang Saleh. Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa hamba ini adalah Nabi Khidir.
Fokus kita arahkan pada ayat 66:
قَالَ لَهٗ مُوسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ٦٦
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Terdapat bacaan Mad Jaiz Munfasil dengan bacaan 4-5 harakat pada lafadz عَلٰٓى اَنْ . Dari segi makna terdapat mu’jizat keindahan bahasa (i’jaz balaghi) yang mengarah pada bahwa terdapat proses panjang yang ingin ditempuh oleh Nabi Musa untuk belajar dan menengadah ilmu dari Nabi Khidir.
Diksi penggunaan mad tiada lain sebagai penekanan bahwa aktivitas tholabul Ilmi ini membutuhkan waktu yang panjang, tahqiq, tadqiq -atau dalam istilah modern yang diadopsi oleh kurikulum pendidikan adalah deep learning. Pembelajaran mendalam dan bermakna. Juga titik tumpuhnya adalah tidak ada yang instan dalam belajar.
Perjalanan yang dilakukan Nabi Musa mengikuti Nabi Khidir tidak sekadar Rihlah Ilmiyyah (perjalanan intelektual), namun juga sebagai bentuk dari tarbiyah ruhiyyah (pendidikan spiritual).
Sebaliknya, momen titik balik yang perlu kita waspadai sebagai seorang pembelajar terdapat pada lafadz اَنْ تُعَلِّمَنِ. Terdapat hadfu (penghapusan) ya’ muta’allim ي sukun yang mengindikasikan kata ganti saya. Serta diganti dengan harakat kasroh. Lantas apa maknanya?
Kita diingatkan oleh Nabi Musa bahwa sebagai pembelajar harus menghapuskan diri dari sifat keakuan. Mensetting diri seperti gelas yang kosong. Tentu kita ingat kisah Imam Abdul Wahab As-Sha’roni ketika ingin belajar kepada gurunya, Sidi Ali Al-Khowwash, untuk membakar kitab-kitab miliknya terlebih dahulu sebelum belajar kepadanya. Dengan tujuan agar tidak ada rasa ujub dan bangga atas ilmu yang dimilikinya saat belajar.
Sebagai ganti dari hadfu, maka dipilihlah harakat kasroh. Tanda bahwa seorang murid harus merendahkan dirinya dalam proses menimba ilmu. Menempatkan potensi miliknya di bawah. Tentu dengan tidak meninggalkan sikap kritis yang banyak disalahpahami dalam proses pembelajaran. Tugas guru adalah merawat sikap kritis dan menumbuhkan rasa cinta ilmu pengetahuan.
Pada ayat selanjutnya:
قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ٦٧
Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.”
Fokus kita adalah lafadz مَعِيَ. Dengan diksi pendek mengisyaratkan bahwa proses sabar dalam belajar itu butuh kesadaran penuh. Bukan hanya sekadar ucapan. Beginilah seharusnya sifat seorang guru yang telaten dalam menghadapi peserta didiknya. Sebengal apapun, harus tetap diberikan treatment sesuai dengan kapasitas sang murid.
Juga penting bagi seorang guru, untuk memberikan tahdhir (peringatan) dan nasihat untuk selalu bersabar. Menghargai proses sekecil apapun. Dengan begini, akan terbangun chemistry antara guru dan murid.