
Bencana angin kencang yang melanda beberapa desa di kecamatan Buduran dan Sedati pada Sabtu, 2 Februari 2019 lalu tak hanya menyisahkan puing-puing reruntuhan bangunan, tetapi juga kesedihan dan trauma yang mendalam bagi beberapa orang. Salah satunya Muawanah, warga Desa Sawohan RT. 16, RW. 3.
Usai kejadian itu ia mengaku tak bisa tidur saat hujan tiba. Selain karena takut hujan disertai angin kencang, kondisi atap rumahnya yang rusak mengakibatkan air hujan masuk ke dalam rumah dan mengisi sebagian besar bagian dalam.
Muawanah menjelaskan bahwa kondisi rumah yang sebelumnya sudah rapuh itu bertambah parah karena terpaan angin kencang sore itu. Selain itu, plafon asbes rumah yang terbuat dari anyaman bambu (sesek) sudah tak mampu lagi menjadi cadangan atap bagian dalam rumah.
Muawanah mengaku saat hujan turun ia hanya bisa bersandar pada dinding tembok rumah. “Nek jawa kulo ngge nemplek tembok, keranten wedih ketiban genteng,” ngakunya.
Menurut pengakuan ketua RT setempat Ahmad Nasrullah, sebelum kejadian angin kencang kondisi rumah Muawanah sudah tak layak dan butuh bantuan serta penanganan khusus. Pihaknya sudah mengajukan bantuan ke pemerintah desa namun masih belum ada realisasi.
“Saaken ibu niki, dereng nate angsal bantuan dugi deso (kasihan ibu ini, belum dapat bantuan dari desa),” ungkap Nasrullah.
Selama beberapa tahun terakhir Nasrullah sudah menyampaikan kepada pemerintah desa untuk memprioritaskan bantuan ke Muawanah. Namun, hingga saat ini belum ada realisasi bantuan yang diberikan.
Ia sempat menerima informasi bahwa pihak desa sudah mengajukan bantuan ke pemerintah pusat namun belum ada kejelasan hingga saat ini.
Nasrullah berharap ada pihak lain yang berkenan menyalurkan bantuan ke Muawanah. Pasalnya, saat ini ia hanya tinggal seorang diri. Karena tahun 1996 silam suaminya meninggal karena kecelakaan, sementara sanak saudara berada di Mojokerto.
Selain itu, lanjut Nasrullah, Muawanah saat ini hanya memiliki seorang anak angkat yang sudah berkeluarga yang tinggal di Surabaya. Sedangkan anak angkat satunya lagi sudah meninggal.
Sosok Muawanah merupakan wanita mandiri. Meski ia tidak mendapat jatah beras untuk masyarakat miskin ia tak patah semangat untuk bekerja dan berjuang mencukupi kebutuhan hidup.
Di usianya yang ke-60 tahun ini ia hidup dengan menjual rujak di rumahnya. Ia mengaku tak berani meminta uang kepada anaknya.
“Kulo sadean rujak. Engge sedino payu kale ngantos tigo wungkus (saya jualan rujak. Dalam sehari laku 2 hingga 3 bungkus),” ungkap Muawanah.
Namun saat hujan tiba ia tak bisa berjualan karena atap rumah yang bocor. Jika tak ada makanan pun Muawanah hanya minum air dan bantuan dari tetangga sekitar rumahnya.
Muawanah berharap bantuan perbaikan atap rumahnya, mengingat kondisi sudah membahayakan jiwa dan kesehatannya selama musim hujan ini.