Oleh: Fahmi Achmad
Simpang siur calon kepala daerah Sidoarjo antara kader NU atau bukan yang layak memimpin, menggiring saya membaca kembali artikel seorang wartawan senior Jawa Pos, edisi 9 September 2018 di nusidoarjo.or.id. Judul artikelnya Mbah Hasyim dan Jabatan.
Ditulis oleh Nawawi A. Manan, seorang wartawan yang belum tamat MTs/SMP namun pernah 2 kali jadi penulis terbaik nasional dan mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Isi tulisannya yakni fakta sejarah bahwa pendiri NU itu tak doyan jabatan, apalagi jabatan politik.
Hal itu seharusnya jadi pemahaman kader NU maupun kader partai politik lainnya untuk menempatkan NU sebagaimana mestinya. Bukan berarti NU harus steril dari politik, jangan pula beropini NU selalu berpolitik (praktis). Politik kebangsaan memang iya, untuk merawat warisan Wali Songo.
Namun, tidak pula menutup kesempatan kader NU memuncaki jabatan politik. Sebelum nemuncaki itu, proses sebagai kader NU harus tuntas. Artinya ujian mutu, potensi, dan kompetensi sebagai tolok ukur kelayakan.
Supaya para kader tersebut tak terseret dalam hegemoni politik yang cenderung pada opini bukan riset ilmiah dan akademis.
Dr. Kenneth Hinton, salah satu dosen asal Amerika di kampus swasta Surabaya sempat melarang mahasiswanya demonstrasi. Pasalnya, ia beranggapan bahwa Indonesia maju bukan karena komentar dan kritik kepada penguasa, tetapi karena potensi dalam berkarya dan mencipta.