Penulis : Elvandari Solina Astandi, S.Pd (Guru di SMP Islam Tanwirul Afkar)
Di sudut stasiun suatu kota, di antara riuh rendah kesibukan Kota Seoul, Korea Selatan, sepotong puisi dari “Aku” karya Chairil Anwar — pelopor Angkatan ’45 penyair asal Indonesia, terpampang megah dalam bahasa Indonesia dan Korea. Tepatnya, di Stasiun Yeouido jalur 5 ; peron 8-2 dan 8-3 serta di Stasiun Gangnam jalur 2 ; peron 3-3 dn 3-4. Puisinya hadir, berdiri sejajar dengan karya-karya penyair hebat lainnya, mengumandangkan suara anak bangsa:
“Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang…”
Tak hanya itu, puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Dengan Puisi, Aku,” telah diterjemahkan ke dalam 52 bahasa dunia dan 22 bahasa daerah Nusantara, menjelajah lebih banyak indra dan imaji dibandingkan perjalanan manusia itu sendiri.
Melihat puisi Indonesia bergema di luar negeri, membuat kita bertanya:
Mengapa di negeri sendiri, puisi justru sering kehilangan ruangnya? Sejauh mana kita menanamkan rasa cinta terhadap sastra dalam dunia pendidikan kita? Mengajarkan puisi kepada anak bukanlah sekadar menghafal bait atau menyuarakan kata di atas panggung semata. Lebih dalam dari itu, puisi mampu menjadi jembatan ekspresi dan memperkaya ruang emosional dalam diri manusia.
Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of “Building Emotional Quotient Students in Poetry Learning” (Setyoko Imanudin & Andayani : 2019) menyoroti bahwa pembelajaran puisi melibatkan unsur perasaan dan emosi siswa, yang berperan penting dalam membentuk kecerdasan emosional mereka. Melalui pembelajaran puisi, siswa diajak untuk mengembangkan empati dan keterampilan berpikir kritis dalam memahami isi puisi, serta diberi kebebasan untuk berpikir kreatif dan berpartisipasi aktif, sehingga kecerdasan emosi dapat terbentuk dengan baik. Puisi dapat melatih anak untuk mengenali ritme bahasa, mengungkapkan perasaan, membangun imajinasi dan menghubungkan kata dengan dunia simbolik yang lebih luas..
Sejauh ini, pemerintah sebenarnya telah berupaya mendorong literasi sastra melalui berbagai program inovatif. Beberapa di antaranya:
- Bengkel Sastra Guru (2020), program Badan Bahasa Kemdikbudristek yang memberikan pelatihan intensif kepada 250 guru dari seluruh Indonesia dan menghasilkan 2 buku antologi puisi guru se-Indonesia. Melalui pelatihan daring dengan menghadirkan penyair-penyair profesional sebagai instruktur. Program ini bertujuan mengasah keterampilan menulis dan mengajarkan sastra secara kreatif. Sayangnya, kegiatan ini belum dilanjutkan kembali setelah tahun 2020.
- Program Sastrawan Masuk Sekolah (2021), yang mempertemukan guru dengan sastrawan dan akademisi untuk menghidupkan sastra di ruang-ruang kelas. Pelatihan ini diselenggarakan secara daring untuk guru-guru di Indonesia dengan menghadirkan para penulis sastra untuk membagi pengalaman dan ilmunya kepada para guru agar mampu menghidupkan sastra di ruang kelas masing-masing.
- Program Sastra Masuk Kurikulum (2024), program yang diluncurkan pada peringatan Hari Buku Nasional 2024 ini bertujuan agar karya sastra digunakan bukan hanya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, melainkan juga dalam berbagai mata pelajaran lain. Dengan demikian, nilai-nilai sastra dapat meresap lebih luas dalam pembelajaran sehari-hari. Pemerintah juga telah menyediakan referensi buku sastra yang telah dikurasi dan direkomendasikan sebagai bahan bacaan siswa sesuai jenjang usianya.
Ketiga program ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa puisi dan sastra bukan hanya pelengkap, melainkan bagian penting dalam pendidikan karakter dan intelektual bangsa. Sayangnya, keterbatasan implementasi, kurangnya kesinambungan, serta tantangan adaptasi di lapangan membuat dampaknya belum terasa masif.