Oleh: Rahmad Sugianto, M.Pd. – SMA Wachid Hasyim 2 Taman
Pendidikan tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa. Ia tumbuh, berkembang, atau bahkan terhambat oleh konteks sosial tempatnya berakar. Sekolah bukan sekadar institusi formal, melainkan simpul dari dinamika sosial yang lebih luas. Lingkungan sosial—baik dalam bentuk keluarga, teman sebaya, komunitas, maupun media—memiliki dampak yang signifikan terhadap jalannya pendidikan di sekolah. Dampak ini bisa positif, namun bisa pula negatif, tergantung pada bagaimana pihak sekolah dan masyarakat merespons dan mengelolanya. Dalam konteks ini, penting untuk memandang lingkungan sosial sebagai pisau bermata dua: ia bisa menjadi sumber kekuatan, tapi juga tantangan bagi dunia pendidikan.
Salah satu sisi terang dari lingkungan sosial adalah perannya dalam membentuk motivasi belajar siswa. Dukungan orang tua, semangat belajar yang tumbuh di antara teman sebaya, serta kegiatan komunitas yang positif dapat menjadi katalisator keberhasilan akademik. Sebuah studi oleh Fan dan Chen (2001) dalam Journal of Educational Research menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua secara signifikan berkorelasi positif dengan prestasi akademik siswa, terutama dalam mata pelajaran inti seperti matematika dan membaca. Demikian pula, kegiatan komunitas seperti kelompok belajar atau program bimbingan di luar sekolah terbukti mampu memperkuat rasa percaya diri dan tanggung jawab siswa.
Namun di sisi lain, lingkungan sosial juga dapat menjadi faktor risiko dalam pendidikan. Pengaruh teman sebaya yang negatif, tekanan sosial, hingga kondisi sosial ekonomi yang rendah sering kali memicu masalah perilaku, rendahnya partisipasi belajar, bahkan angka putus sekolah. Penelitian oleh Sirin (2005) dalam Review of Educational Research menegaskan bahwa status sosial ekonomi memiliki hubungan kuat dengan pencapaian akademik siswa. Anak-anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah cenderung menghadapi tantangan seperti keterbatasan akses sumber belajar, stres, dan lingkungan yang kurang kondusif. Fenomena ini juga diperkuat oleh kenyataan di lapangan, di mana sekolah-sekolah yang berada di daerah miskin kerap menghadapi permasalahan ganda: keterbatasan sumber daya sekaligus dampak sosial dari lingkungannya.
Dalam menghadapi realitas ini, sekolah tidak bisa bersikap pasif. Justru, sekolah memiliki posisi strategis sebagai agen penyeimbang dan pemberdaya sosial. Program pendidikan karakter, pendekatan pembelajaran berbasis komunitas, serta keterlibatan guru dalam memahami latar belakang sosial siswa adalah langkah penting yang harus diambil. Freire (1970) dalam karya terkenalnya Pedagogy of the Oppressed menyebutkan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menindas. Dalam konteks ini, sekolah harus menjadi ruang di mana anak-anak—apa pun latar sosialnya—diberi peluang untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sebagian pihak mungkin menilai bahwa pengaruh lingkungan sosial adalah faktor eksternal yang di luar kendali sekolah. Namun, pandangan ini terlalu deterministik. Faktanya, banyak sekolah yang mampu membuktikan bahwa dengan strategi tepat dan kolaborasi yang kuat, dampak negatif lingkungan sosial dapat ditekan, bahkan diubah menjadi potensi yang luar biasa. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum di atas kertas, melainkan proses sosial yang menuntut kepekaan, responsif, dan kolaboratif.