SIDOARJO, NU Delta | Setiap tanggal 1 Oktober, Bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, sebuah momen krusial untuk merefleksikan kembali ketahanan ideologi negara dari upaya penggantian maupun kekerasan. Di tengah dinamika demokrasi modern, spirit Kesaktian Pancasila menemukan relevansi mendalam sebagai fondasi etika publik, terutama dalam merespons tantangan perilaku destruktif seperti aksi anarkis dan kekerasan yang kerap menyertai demonstrasi.
Di tengah dinamika politik dan sosial saat ini, ketika intoleransi, ujaran kebencian, dan tindakan kekerasan masih kerap muncul di ruang publik, nilai-nilai Pancasila harus dihidupkan kembali. Terutama melalui keteladanan dan aksi nyata dari masyarakat bawah (grassroots).
Anarkisme yang muncul dalam wajah modern sering kali hadir dalam dua sisi. Pertama, anarkisme politik yang menolak musyawarah dan memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Kedua, anarkisme digital yang mengedepankan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial. Keduanya jelas bertentangan dengan Pancasila yang mengedepankan persatuan, keadilan, dan musyawarah mufakat.
Anarkisme pada hakikatnya adalah pengkhianatan terhadap cita-cita demokrasi. Ia melanggar Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab karena merampas hak orang lain untuk merasa aman. Lebih jauh, ia juga menihilkan Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan, dengan menggantinya melalui pemaksaan kehendak dan intimidasi. Karena itu, tugas utama civil society hari ini adalah menggerakkan edukasi perubahan perilaku (Edukasi PP) yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.
Peran Sentral NU Ranting dan Siskamling
Edukasi perubahan perilaku anti-anarkis akan efektif bila dijalankan melalui dua pilar civil society di tingkat akar rumput. Seperti Pengurus NU di tingkat Ranting dan Siskamling. Nahdlatul Ulama, melalui jaringan Rantingnya, berfungsi sebagai benteng kultural yang menanamkan nilai Ketuhanan dan Persatuan Indonesia.
Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) bersama tokoh agama konsisten mengajarkan prinsip ahlussunnah wal jama’ah yang moderat (tawassuth) dan toleran (tasamuh). Ajaran ini menjadi imunitas kolektif, menolak paham radikal sekaligus menangkis hasutan kekerasan yang kerap dieksploitasi untuk memicu anarkisme.
Di sisi lain, Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) adalah praktik nyata dari Sila Persatuan Indonesia dalam bentuk gotong royong. Siskamling mengajarkan disiplin komunal, tanggung jawab sosial, serta kesadaran bahwa keamanan adalah urusan bersama. Melalui deteksi dini, anggota Siskamling memastikan lingkungan warga tidak mudah terprovokasi agenda kekerasan dari luar, sehingga menjaga tegaknya keadilan sosial di tingkat komunitas.
Keteladanan Sebagai Katalisator
Namun, perubahan perilaku yang mendasar tak mungkin terjadi tanpa keteladanan. Para pemimpin dan aparat keamanan harus menampilkan wajah humanis ketika mengawal demonstrasi, serta membuka ruang dialog substantif. Pendekatan non-kekerasan ini bukan hanya memutus siklus provokasi, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan publik.