Oleh Nawawi A. Manan
Setelah membaca berita KPK menetapkan Menpora Imam Nahrowi sebagai tersangka korupsi, penulis baru menyadari bahwa selama ini – sejak kanak-kanak hingga dewasa – penulis selalu bersama orang-orang bernama Imam.
Pada masa kanak-kanak, penulis punya seorang teman bernama Imam. Tubuhnya gemuk, rambutnya agak kriwul, matanya sipit tapi tidak kayak orang Tionghoa karena kulitnya hitam. Ia suka bermain klereng, layang-layang, sepak bola, dan lain-lain tetapi tidak pernah menang. Jika mengikuti gladi hadra, ia selalu menempati baris paling belakang pojok kanan atau kiri.
Sebagai anak nelayan dengan rumah di pinggir kali dia pandai berenang. Pada setiap musim kemarau, dia mengajari penulis berenang. Ketika menjadi nelayan dia menjadi wasilah teman-temannya dalam upaya menyelamatkan diri ketika di laut sedang bertiup angin kencang. Dia punya batu akik yang khadamnya diyakini mampu membantu berdoa menyisihkan terjangan angin.
Ketika di bangku MTs, penulis diajar guru Bahasa Indonesia bernama Imam Syafi’i. Dia berkulit kuning, ganteng, selalu tersenyum, dan tidak pernah marah. Dia kuliah di IAIN Sunan Ampel, tapi fasih sekali ketika menjelaskan sajak, gurindam, dan sastra Angkatan Poejangga Baroe. Dan, meski orang Sumatera, dia juga fasih menjelaskan cerita wayang.