SIDOARJO – Ketua Pimpinan Cabang (PC) ISNU Sidoarjo, Abah Sholehuddin menulis artikel bertajuk Lebaran dan Moderasi Beragama melalui media ISNU Sidoarjo pada (25/04/2023). Pihaknya membahas pentingnya moderasi beragama pada fenomena tanggal lebaran yang berbeda pada tahun ini. Ia juga mengatakan bahwa sebelumnya NU sendiri juga pernah berbeda dengan pemerintah.
“Jika Muhammadiyah sudah mengikhbarkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jumat, 21 Maret 2023, NU dan pemerintah memutuskan pada Sabtu, 22 April 2023, tidak hanya Muhammadiyah saja yang pernah berbeda dengan keputusan pemerintah, NU pada tahun 1992 juga pernah berbeda dengan keputusan pemerintah dalam merayakan Idul Fitri,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menyebut perbedaan tersebut merupakan fenomena gunung es yang menciptakan polarisasi di NU dan Muhammadiyah. Namun Abah Sholehuddin menyebut, tidak terjadi konflik horizontal yang berarti karena NU dan Muhammadiyah di akar rumput sudah dewasa akan perbedaan dan sadar akan moderasi beragama. Sehingga ketegangan tidak berlanjut.
Abah Sholehuddin menyebutkan fenomena perbedaan hari lebaran kali ini menunjukan 4 indikator moderasi beragama. Yang pertama adalah taat konstitusi. Sidang isbat Kemenag sejatinya menunjukkan hadirnya negara dalam agama, bukan intervensi pemerintah terhadap kebebasan beragama. Negara pun tidak memaksa kepada umat beragama untuk mengikuti ketatapan resmi karena itu wilayah internum.
Yang kedua adalah toleransi. Sikap toleransi dengan menghormati perbedaan, memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda untuk menjalankan agamanya. Di sebuah daerah ada Banser menjaga salat Id pada Jumat, 21 April. Abah Sholehuddin juga memberikan contoh toleransi dari umat kristiani yang menyambut jamaah muslim. Mereka adalah para biarawati Gereja Katedral Jakarta yang menyambut jamaah sholat id Masjid Istiqlal yang meluber.
Yang ketiga adalah anti kekerasan. Meski sempat terjadi ketegangan di kalangan elit, namun masyarakat kecil justru menikmati perbedaan tersebut. Hal itu dibuktikan dengan suasana lebaran di kampung beliau yang lebih unik karena ada yang halal bi halal mulai dari tanggal 21 ada juga yang ikut tanggal 22.
“Di kampung saya unjung-unjungnya (halal bi halalnya) ada yang ikut 21 dan 22,” ujar laki-laki yang juga menjadi dosen di UNUSIDA tersebut.
Kemudian yang keempat adalah menghormati tradisi. Menurutnya Idul Fitri penuh dengan tradisi lokal (local wisdom). Setiap daerah berbeda dalam menyambut Idul fitri. Mudik misalnya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Unjung-unjung, makanan khas, saling memberi hadiah maupun angpao merupakan budaya lokal yang bisa mempererat persaudaraan.
Abah Sholahuddin selain Ketua ISNU Sidoarjo, beliau juga Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama. Ia yakin ke depan moderasi beragama di Indonesia akan makin membaik beriringan dengan kedewasaan umat beragama di Indonesia.
Pewarta : Noven Lukito HS.
Editor : Boy Ardiansyah