SIDOARJO – KH Zainal Abidin selaku Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Sidoarjo menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah itu berjalan di garis yang berbeda, pada Talk Show Dimensi Dialektika yang diadakan oleh Dewan Pemuda Sidoarjo dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan. Tema yang diangkat yakni “NU + Muhammadiyah = Pemersatu Bangsa” Selasa, 23 Agustus 2022 di Steamed Soul Coffee, Jalan Trunojoyo 27, Sidoarjo.
“Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim memiliki guru yang sama tapi gerakannya berbeda. Dalam situasi kepepet para penjajah, perlu adanya kesadaran keagamaan dan semangat yang dibangun sama antara Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim. Mbah Dahlan fokus pada penguatan pendidikan sedangkan Mbah Hasyim fokus pada kebangkitan para ulama. Sehingga basis ulama tidak bisa lepas dari pondok pesantren. Mbah Hasyim dan Mbah Wahab pada waktu itu menata perekenomian kebangkitan para pedagang dan Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air) yang pertama kali ditanamkan,” ulas Ketua PCNU Sidoarjo itu.
Mantan Ketua KPU Sidoarjo tersebut menjelaskan, kepedulian sosial yang dimiliki NU dan Muhammadiyah memiliki nafas yang sama namun ciri khas gerakannya berbeda. Muhammadiyah gerakannya di pendidikan formal sedangkan NU gerakannya pada pendidikan non formal. Namun, sekarang sudah mulai berkolaborasi, dimana Muhammadiyah sudah banyak yang mendirikan pesantren dan NU sudah banyak yang mendirikan sekolah. Hal tersebut mampu menghadang penghuni baru di Indonesia yang tidak setuju dengan pancasila. Karena sejarah Muhammadiyah dan NU memiliki darah yang dikorbankan dan semangat yang membara sehingga mampu menjaga keutuhan NKRI.
Kiai Zainal juga mengulas peran Mbah Hasyim dalam merefleksikan kemerdekaan yang ditanamkan melalui nilai-nilai kepahlawanan, seperti menggelorakan semangat kemerdekaan dan kecintaan terhadap tanah air. Mbah Wahab menciptakan lagu “Yalal Wathon” sebagai bentuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal tersebut adalah salah satu contoh yang harus dilakukan oleh generasi muda sehingga dapat membentuk Indonesia yang akan datang menjadi generasi emas.
“Kadang kita terjebak pada propaganda, generasi sekarang dapat menjadi pemimpin pada 10 hingga 15 tahun yang akan datang karena pola pemikiran dan kecerdasan yang dimiliki berbeda. Potensi yang dimiliki pemuda itu luar biasa sehingga jangan sampai kalian sebagai generasi muda tidak mampu menangkap peluang untuk memaksimalkan potensi. Melalui belajar, diskusi, menciptakan terobosan, serta inovasi yang kreatif akan dapat memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia yg akan datang. Semangat kepemudaan harus mengisi posisi-posisi strategis,” jelasnya.
Mengenai perbedaan pendapat dari cara beribadah NU dan Muhammadiyah yang kerap kali dipersoalkan oleh umat, Ketua PC NU Sidoarjo tersebut menjelaskan bahwa itu hanya kepentingan politik sehingga hal yang berbeda dipermasalahkan dan dibesarkan. Menurutnya, penumpang gelap yang tidak pernah merasakan darah perjuangan datang dengan tujuan menghancurkan keutuhan NKRI. Maka perbedaan ini harus disadari oleh generasi muda NU dan Muhammadiyah.
“Generasi muda NU dan Muhammadiyah harus bersatu memikirkan kemajuan Indonesia terutama Sidoarjo. Kalau kita hanya disibukkan oleh perbedaan khilafiyah, maka orang lain yg akan mengisi ruang kosong yang strategis,” lanjutnya.
“Apa yg dilakukan NU belum tentu bisa dilakukan Muhammadiyah, begitu juga sebaliknya apa yang dilakukan Muhammadiyah belum tentu bisa dilakukan NU. Karena sejatinya NU dan Muhammadiyah berjalan di garis yang berbeda tapi memiliki tujuan yg sama,” pungkasnya.
Pewarta: Savira Tasya
Editor: Emzed Ef