Kisah Rabi’ah Al-Adawiyah dan 4 Pertanyaan

Ilustrasi Rabi’ah Al-Adawiyah dan Imam Hasan Al-Basri dalam diskusi spiritual
Ning Farida Ulfi

SIDOARJO, NU Delta | Di tengah banyaknya kisah teladan dalam sejarah Islam, kisah Rabi’ah Al-Adawiyah menjadi salah satu yang paling menggugah. Bukan hanya karena keteguhan iman dan kecintaannya kepada Allah, tetapi juga karena cara berpikirnya yang jauh melampaui zamannya. Kisah ini diangkat kembali oleh Ning Farida Ulfi Na’imah, Wakil Satgas Aswaja NU Center PCNU Sidoarjo, dalam kajian kitab Uqudul Lujain yang digelar secara daring pada Kamis (15/5/2025).

Imam Hasan Al-Basri Bertamu ke Rumah Rabi’ah

Suatu hari, Imam Hasan Al-Basri bersama sahabat-sahabatnya hendak bertamu ke rumah Rabi’ah. Karena mereka adalah laki-laki, Rabi’ah menyambut mereka dari balik tirai. Imam Hasan Al-Basri membuka percakapan dengan menyampaikan bahwa suami Rabi’ah telah wafat, dan mempersilakan Rabi’ah memilih salah satu dari mereka untuk menjadi suaminya.

Rabi’ah Memilih Ilmu, Bukan Hanya Lelaki

Rabi’ah merasa tersanjung, tetapi ia ingin memastikan calon suaminya adalah sosok paling alim. Maka ditunjuklah Imam Hasan Al-Basri sebagai yang paling alim. Namun sebelum menerima lamaran, Rabi’ah menyodorkan empat pertanyaan. Siapa sangka, semua pertanyaan itu mengandung makna spiritual yang dalam dan tak mudah dijawab.

Empat Pertanyaan Rabi’ah Al-Adawiyah

  1. Apakah saat aku wafat, aku dalam keadaan muslimah atau kafir?
  2. Jika di kubur aku ditanya Mungkar dan Nakir, bisakah aku menjawab?
  3. Ketika catatan amal dibagikan di Padang Mahsyar, dari sisi manakah aku menerimanya?
  4. Kelak di akhirat, masuk ke kelompok manakah aku: surga atau neraka?

Imam Hasan Al-Basri mengakui, semua pertanyaan itu adalah perkara ghaib yang hanya Allah yang tahu. Rabi’ah pun bertanya, “Jika aku masih sibuk memikirkan hal seperti ini, apakah aku masih sempat memikirkan soal suami?”

Makna Mendalam di Balik Pertanyaan

Kisah ini menyentil kita semua. Betapa sering manusia sibuk dengan hal-hal duniawi, padahal urusan akhirat jauh lebih penting dan genting. Rabi’ah tidak menolak pernikahan, tapi ia ingin memastikan hatinya benar-benar siap dalam iman. Ia menolak bukan karena sombong, tapi karena khawatir urusannya dengan Allah belum selesai.

Baca Juga  REFLEKSI MAULID NABI 1445 H; MEMPERBAIKI AKHLAK UNTUK KEMAJUAN BANGSA

Kisah ini adalah potret perempuan salehah yang menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup. Sebuah pelajaran bahwa spiritualitas bukan sekadar ritual, tapi juga refleksi mendalam atas hidup, mati, dan tujuan akhir.

Rabi’ah Al-Adawiyah mengajarkan kita bahwa iman yang kuat lahir dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupan akhirat. Di era modern, di mana dunia kerap membutakan hati, kisah ini menjadi tamparan lembut agar kita kembali merenungi untuk apa kita hidup dan kepada siapa kita kembali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *