Oleh:
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I
Pertanyaan Ke-2: Tentang Makmum Mengikuti Gerakan Shalat Imam Melalui Proyektor.
Assalamu’alikum wr. wb.
Ngapunten P’Ustadz. Izin bertanya, Disini ada masjid dengan dua lantai, khususnya ketika shalat Jumat jama’ahnya penuh, untuk posisinya imam ada di lantai atas biasanya, sedangkan sebagian jama’ah ada yang di lantai bawah dan tidak bisa melihat imam secara langsung. Sehingga di lantai bawah dipasangi layar proyektor yang menampilkan imam di lantai atas tadi. Untuk hukumnya bagaimana ya? Mohon pencerahannya P’Ustadz, maklum saya ini masih awam terkait fiqih. (Cak Mad***@gmail.com)
Jawabannya,
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Maturnuwun atas pertanyaannya Dulur, semoga kita senantiasa diberi kemudahan oleh Allah SWT dalam segala urusan ibadah. Perlu menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa salah satu syarat sahnya shalat Jum’at adalah dilaksanakan secara berjama’ah, minimal di rakaat pertama. Untuk itu, kita harus memperhatikan syarat dan ketentuannya dalam pelaksanaan shalat jama’ah jum’at tersebut.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, setidaknya ada dua sudut pandang sebagai upaya penyikapannya:
Pertama, berkaitan standar keabsahan berkumpulnya Imam dan Makmum dalam satu tempat. Bahwa salah satu syarat keabsahan jamaah adalah berkumpulnya imam dan makmum dalam satu tempat, tidak sah bila posisi berdiri imam dan makmum berlainan tempatnya. Hanya untuk menentukan berkumpul dan tidaknya, fiqih sudah memiliki batas-batas tersendiri. Karena konteks pertanyaannya tersebut adalah di dalam masjid, oleh karena itu tulisan ini kami fokuskan ketentuan posisi imam dan makmum di dalam masjid.
Posisi imam dan makmum yang sama-sama di dalam masjid, disyaratkan tidak terpisah oleh bangunan atau benda lain yang dapat menghambat berjalan sampai ke posisi berdirinya imam. Maka, menjadi tidak sah misalkan posisi makmum terhalang oleh pintu yang ditutup secara permanen (dengan dipaku), bangunan masjid berlantai yang tidak dihubungkan oleh tangga atau bangunan kamar yang dapat menghambat berjalan sampai ke posisi imam.
Berbeda halnya bila bangunan atau benda lainnya tidak dapat menghambat berjalan sampai ke posisi imam, misalkan posisi lantai atas dan bawah masjid yang terhubung oleh tangga, maka sah dan boleh. Dan, pada prinsipnya, selama posisi imam dan makmum masih terhubung oleh sebuah jalan yang dapat dilewati secara normal, maka jamaahnya sah dan dinyatakan berkumpul dalam satu tempat. Dalam hal ini Syekh Zakariyya al-Anshari pernah berkata:
ـ (فَإِنْ كَانَا بِمَسْجِدٍ صَحَّ الِاقْتِدَاءُ وَإِنْ) بَعُدَتْ مَسَافَةٌ وَ (حَالَتْ أَبْنِيَةٌ) كَبِئْرٍ وَسَطْحٍ بِقَيْدٍ زِدْته بِقَوْلِي (نَافِذَةً) إلَيْهِ أُغْلِقَتْ أَبْوَابُهَا أَوْ لَا لِأَنَّهُ كُلَّهُ مَبْنِيٌّ لِلصَّلَاةِ فَالْمُجْتَمِعُونَ فِيهِ مُجْتَمِعُونَ لِإِقَامَةِ الْجَمَاعَةِ مُؤَدُّونَ لِشَعَارِهَا فَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَافِذَةً إلَيْهِ لَمْ يُعَدَّ الْجَامِعُ لَهُمَا مَسْجِدًا وَاحِدًا فَيَضُرُّ الشُّبَّاكُ
“Bila imam dan makmum di dalam masjid, maka sah berjamaah meski jauh jaraknya dan terhalang bagunan-bangunan seperti sumur dan atap dengan catatan yang saya tambahkan; yang terhubung sampai posisi imam, baik dikunci pintu-pintunya atau tidak, karena keseluruhan masjid dibangun untuk shalat, maka orang-orang yang berkumpul di dalamnya (dinyatakan) berkumpul mendirikan jama’ah, melaksanakan syiarnya. Bila bangunan-bangunan tersebut tidak terhubung sampai posisi imam, maka tidak terhitung satu masjid, maka bermasalah (terhalang) oleh jendela,” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 1, hal. 323).
Terkait dengan adanya referensi di atas, Syekh Sulaiman al-Bujairimi memberikan penegasan:
ـ (قَوْلُهُ: نَافِذَةٌ) أَيْ بِحَيْثُ يُمْكِنُ الِاسْتِطْرَاقُ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْفَذِ عَادَةً وَلَوْ لَمْ يَصِلْ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْفَذِ إلَى ذَلِكَ الْبِنَاءِ إلَّا بِازْوِرَارٍ وَانْعِطَافٍ بِحَيْثُ يَصِيرُ ظَهْرُهُ لِلْقِبْلَةِ
“Maksud ucapan Syekh Zakariyya “yang terhubung (antara imam dan makmum)” adalah terhubung dengan sekira mungkin untuk berjalan dari jalan penghubung tersebut secara adat, meski dari jalan tersebut tidak bisa sampai kepada bangunan kecuali dengan membelakangi qiblat.”
ـ (قَوْلُهُ: أُغْلِقَتْ أَبْوَابُهَا) أَيْ وَلَوْ بِقُفْلٍ أَوْ ضَبَّةٍ لَيْسَ لَهَا مِفْتَاحٌ مَا لَمْ تُسَمَّرُ فَيَضُرُّ الشُّبَّاكُ وَكَذَا الْبَابُ الْمُسَمَّرُ بِالْأَوْلَى لِأَنَّهُ يَمْنَعُ الِاسْتِطْرَاقَ وَالرُّؤْيَةَ قَالَ شَيْخُنَا: وَإِنْ كَانَ الِاسْتِطْرَاقُ مُمْكِنًا مِنْ فُرْجَةٍ مِنْ أَعْلَاهُ فِيمَا يَظْهَرُ لِأَنَّ الْمَدَارَ عَلَى الِاسْتِطْرَاقِ الْعَادِي وَكَذَا السَّطْحُ الَّذِي لَا مَرْقَى لَهُ مِنْ الْمَسْجِدِ بِأَنْ أُزِيلَ سُلَّمُهُ وَمِنْ هَذَا يُعْلَمُ بُطْلَانُ صَلَاةِ مَنْ يُصَلِّي بِدَكَّةِ الْمُؤَذِّنِينَ وَقَدْ رُفِعَ مَا يُتَوَصَّلُ بِهِ مِنْهَا إلَى الْمَسْجِدِ
“Ucapan Syekh Zakariyya “dikunci pintu-pintunya” meski dengan gembok atau tambalan yang tidak memiliki kunci selama tidak dipaku, maka bermasalah jendela terlebih pintu yang dipaku, sebab dapat mencegah berjalan sampai posisi imam dan mencegah melihat imam. Guruku berkata, meski berjalan masih mungkin dari lubang di atas jendela, karena standarnya adalah bisa berjalan secara adat (normal), demikian pula atap (lantai atas) yang tidak memiliki tangga dari masjid, dengan sekira dihilangkan tangganya. Dari ini diketahui batalnya shalat orang yang berada di tempat naiknya muadzin yang dihilangkan jalan penghubung dari tempat tersebut menuju masjid,” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, al-Tajrid li Naf’il Abid, juz 1, hal. 323).
Sedangkan yang kedua, standar keabsahan mengetahuinya makmum terhadap gerakan-gerakan imam. Salah satu syarat berjama’ah adalah makmum harus mengetahui gerakan-gerakan shalatnya imam, mulai dari berdiri, ruku’, sujud dan lain sebagainya. Pengetahuan akan hal ini bisa ditempuh dengan beberapa cara, melihat imam secara langsung, melihat shaf bagian depan, mendengar suara imam, mendengar suara muballigh (seseorang yang bertugas menirukan suara imam agar didengar luas oleh seluruh makmum) atau dengan gerakan rabith (makmum yang berdiri di jalan penghubung posisi imam dan makmum lain agar bisa diikuti gerakan-gerakan imam atau sebagian makmum yang lain).
Sehingga pada prinsipnya dalam hal ini, makmum harus mengetahui kapan imamnya berdiri, kapan ia ruku’, kapan ia sujud dan seterusnya. Dalam konteksnya pertanyaan tersebut, layar proyektor yang terpasang di lantai bawah, sudah cukup untuk dijadikan media untuk mengetahui gerakan-gerakan imam, terlebih dengan dukungan pengeras suara yang dapat memberikan informasi secara akurat kapan imam berpindah pindah dari satu rukun ke rukun shalat lainnya. Terkait hal ini, yang menjadi masalah adalah ketika proyektor mati atau pengeras suaranya error, karena tidak ada media untuk mengetahui gerakan-gerakan imam, oleh karenanya usahakan tim IT atau pihak yang bertugas itu betul-betul bisa memastikan layar proyektor atau pengeras suara berfungsi dengan baik sampai selesainya jama’ah jum’at tersebut.
Dalam hal ini, Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi pernah berkata:
ـ (و) الثَّالِث (عِلْمٌ بِانْتِقَالَاتِ إِمَامٍ) بِرُؤْيَتِهِ أَو رُؤْيَةِ صَفٍّ أَو بَعْضِهِ أَو سَماعِ صَوْتِهِ أَو صَوْتِ مُبَلِّغٍ ثِقَةٍ أَو بِرَابِطَةٍ وَهُوَ شَخْصٌ يَقِفُ أَمَامَ مَنْفَذٍ كَالْبَابِ لِيُرَى الْإِمَامُ أَو بعضُ الْمَأْمُومين فَيَتْبَعُهُ مَنْ بِجَانِبِهِ أَوْ خَلْفَهُ
“Syarat yang ketiga, mengetahui gerakan-gerakan imam dengan melihatnya, melihat barisan atau sebagiannya, mendengar suara imam, suara muballigh atau dengan makmum penyambung, yaitu seseorang yang berdiri di depan jalan penghubung (imam dan makmum) seperti pintu, agar imam atau sebagian makmum dapat dilihat gerakan-gerakannya, maka makmum yang di samping atau di belakang rabith ini dapat mengikutinya”. (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, hal. 121)
Simpulnya, pelaksanaan jama’ah jum’at sebagaimana pertanyaan tersebut di atas adalah sah dengan dengan adanya dua catatan penting. Pertama, terdapat tangga penghubung lantai atas dan bawah masjid yang bisa dilewati secara normal. Kedua, layar proyektor atau pengeras suara dipastikan berjalan dengan baik sebagai media untuk mengetahui gerakan-gerakan imam. Demikian jawaban singkat yang bisa kami sampaikan Dulur, semoga bermanfaat dan semakin menambah semangat kita dalam urusan ibadah…..Aamiin…..
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb. (drherusiswanto**@gmail.com)