Oleh : Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E
Masjid, dalam sejarah Islam, bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah pusat segala aktivitas umat: mulai dari pendidikan, sosial, politik, hingga ekonomi. Di era Nabi Muhammad SAW, Masjid Nabawi di Madinah menjadi simbol dari peradaban Islam yang hidup dan berpengaruh. Lantas, di era modern yang serba digital dan global ini, mungkinkah masjid kembali berfungsi sebagai pusat peradaban?
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan mengingat peran masjid saat ini sebagian besar terbatas sebagai tempat shalat lima waktu dan pengajian rutin. Padahal, Islam telah memberikan contoh nyata tentang peran masjid yang holistik. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir…”
(QS. At-Taubah: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa memakmurkan masjid bukan hanya tentang kegiatan ritual, tetapi juga aktivitas sosial yang mencerminkan nilai-nilai keimanan.
Nabi Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai pusat perubahan sosial. Di sana, para sahabat belajar membaca, menulis, dan memahami Islam secara kaffah. Dari masjid pula, strategi dakwah, distribusi zakat, hingga pengadilan diselenggarakan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Tempat yang paling dicintai Allah di muka bumi adalah masjid-masjid-Nya…”
(HR. Muslim)
Cinta Allah terhadap masjid tentu sejalan dengan fungsi strategisnya dalam membangun masyarakat.
Di era modern, masjid seharusnya mampu beradaptasi dan menjawab tantangan zaman. Masjid bukan hanya ruang fisik, tapi bisa menjadi pusat edukasi digital, pusat pembinaan keluarga Islami, dan tempat pemberdayaan ekonomi umat. Dengan memanfaatkan teknologi, masjid dapat menyediakan layanan keumatan seperti e-learning keislaman, konsultasi daring, hingga pelatihan keterampilan berbasis syariah.
Untuk mewujudkan ini, dibutuhkan pengelolaan masjid yang profesional dan partisipatif. Takmir masjid harus berperan sebagai manajer spiritual dan sosial yang mampu membaca kebutuhan masyarakat modern. Remaja masjid perlu dilibatkan sebagai motor penggerak yang inovatif, agar kegiatan masjid tidak monoton dan hanya melibatkan kalangan tua.
Salah satu kunci transformasi masjid di era digital adalah kolaborasi. Masjid dapat bekerja sama dengan sekolah, kampus, pelaku usaha, dan pemerintah untuk menghadirkan layanan yang berdampak luas. Dengan demikian, masjid bukan hanya tempat shalat, tetapi juga tempat solusi.
Lebih dari itu, masjid harus menjadi ruang yang inklusif. Semua kalangan muda, tua, perempuan, dhuafa, dan mualaf harus merasa diterima dan dilayani. Di sinilah makna “rahmatan lil ‘alamin” yang sebenarnya. Masjid menjadi tempat kasih sayang dan pemberdayaan bagi semua.
Mungkinkah masjid menjadi pusat peradaban di era modern? Jawabannya: sangat mungkin. Asalkan ada kesadaran kolektif umat Islam untuk menghidupkan kembali semangat masjid Nabawi dengan nilai, ilmu, pelayanan, dan kepemimpinan. Maka, insyaAllah, dari masjidlah kembali bangkit peradaban Islam yang mencerahkan dunia.