Redaksi asli hadis tentang kurangnya akal dan agama perempuan cukup panjang. Adapun potongan hadisnya dalam shahih Bukhari dari jalur Abu Said al-Khudri yaitu:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ المَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ. قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ. قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan hati laki-laki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum perempuan). Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama? Beliau menjawab “Bukankah persaksian seorang perempuan setengah dari persaksian laki-laki?” Kami menjawab, “Benar.” Beliau berkata lagi “Itulah kekurangan akalnya, dan bukankah seorang perempuan apabila sedang haid tidak shalat dan puasa?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata “Itulah kekurangan agamanya.” (HR Bukhari)
Hadist yang menjelaskan perempuan dianggap kurang akal dan kurang agamanya di atas dikuatkan pada hadist yang lain yang menjelaskan dimana kesaksian perempuan tidak bisa berdiri sendiri kecuali ditopang oleh kesaksian perempuan lain. Maka perempuan dianggap lemah akalnya. Dan disebut lemah agamanya karena ketika mengalami haid, perempuan tidak boleh melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat dan puasa, sehingga dianggaplah perempuan lemah agamanya.
Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah (1924–1995), menulis Tahrīr al-Mar’ah fī ‘Ashr ar-Risālah (Pembebasan Perempuan pada Masa Kenabian) yang isinya menghimpun hadist-hadist terkait perempuan dari berbagai prespektif. Seperti perempuan bekerja, beraktifitas di ruang publik, perempuan ke masjid. Kitab itu yang melandasi kitab Sittin ‘Adliyah dan Nabiyurrahmah.
Maksud hadist yang perempuan kurang akal dan kurang agamanya perlu dilihat konteks kejadiannya. Menurut Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah tersebut maksudnya adalah memuji atau mengapresiasi perempuan. Karena perempuan mampu mengungguli laki-laki dalam hal kekokohannya. Hadist tersebut disampaikan ketika Rasulullah SAW selesai shalat ied kemudian menghampiri perempuan-perempuan dan mengatakan demikian. Shalat ied adalah momen kebahagiaan, maka tidak mungkin Rasulullah SAW mengatakan hal yang merendahkan perempuan.
Tidak tepat bila beranggapan perempua lemah dalam agama karena tidak shalat dan puasa saat haid. Padahal tidak melaksanakan shalat dan puasa saat haid adalah bentuk patuh kepada Allah. Dalam kasus peryataan perempuan tidak bisa diterima tanpa penguat perempuan lain perlu di kritisi. Pasalnya hadist yang diriwayatkan perempuan diterima, maka hal yang lain soal muamalah maka seharusnya kesaksian perempuan juga diterima.
Disampaikan Ning Farida Ulfi Na’imah saat Ngaji Kitab Manbaus S’adah di Masjid Kampus Universitas KH Abdul Chalim Mojokerto Kamis 01 Mei 2025