Memahami Esensi Kurban : Lebih dari Sekadar Menyembelih Hewan

Kurban

SIDOARJO, NU Delta | SPIRITUALITAS Idul Adha selalu membawa nuansa khas bagi masyarakat Muslim. Rutinitas berkurban, dengan menyembelih hewan ternak, bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah manifestasi spiritualitas yang mendalam, bahkan meresap dalam lorong waktu dunia sufistik. Namun, apakah esensi kurban hanya sebatas itu? Sebuah cerita menarik dari seorang kiai sepuh kepada santri kesayangannya membuka tabir makna yang lebih luas.

Kisah ini bermula ketika seorang kiai sepuh mendatangi santri kesayangannya. Sang santri kebetulan kala itu sedang asyik memberi makan beberapa ekor kambing di kandangnya. Memang, kambing-kambing itu sengaja ia pelihara untuk dikurbankan setiap Idul Adha.

Dialog Kiai dan Santri

Dalam dialognya, Sang Kiai Sepuh bertanya dengan nada ramah, “Kamu berkurban berapa kambing, Hari Raya Idul Adha tahun ini, Kang…?”

Dengan penuh percaya diri, sang santri menjawab, “Alhamdulillah, Kiai, tahun ini saya bisa menyembelih tujuh ekor kambing, dan jumlah ini lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.” Wajahnya memancarkan kebanggaan atas pencapaiannya.

Sang kiai pun kembali bertanya, “Rutinitas berkurban ini sudah berapa tahun kamu lakukan, Kang..?”

Dengan lugu, santri itu menjawab, “Alhamdulillah, Kiai, saya sudah sepuluh tahun rutin berkurban. Mohon maaf, ini semua tentunya berkat doa Kiai sehingga usaha saya semakin lancar jaya dan tiap tahun seperti ini bisa berbagi dengan saudara dan tetangga, khususnya melalui kurban ini.” Jawaban sang santri begitu kompleks, memadukan rasa syukur, pengakuan akan doa sang kiai, dan kepercayaan diri atas konsistensinya.

Esensi Kurban, Paham?

Namun, tanggapan sang kiai justru di luar dugaan. Dengan gaya ceplas-ceplos khasnya, beliau menimpali, “Sebetulnya ini aneh sekali bin ajaib, Kang… hehehe. Sudah sepuluh tahun berkurban, tapi sifatmu tidak berubah sama sekali. Astagfirullahaladzim… Kang! Ini ceritanya gimana ini…? Apa kamu tidak paham esensi dari kurban itu sendiri, Kang…?”

Baca Juga  Rangkaian Harlah ke-62 RSI Siti Hajar Sidoarjo Diawali Gathering Bidan Berjejaring

Seketika, sang santri tertunduk malu, wajahnya memerah. Ia pun bertanya dengan nada rendah, “Terkait hal itu, saya tidak paham, Kiai. Mohon bimbingan dan petunjuknya, Kiai…?”

Nafsu : Kalbiyah, Himariyah, Sabu’iyah, Fa’riyah?

Dengan tegas, sang kiai berkata, “Tolong diingat-ingat selalu, ketika kamu berkurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu juga meniatkan untuk menyembelih nafsu kalbiyah (sifat anjing) seperti suka menghina, mencela, dan memandang rendah orang lain, Kang…?”

Sang santri, dengan semakin malu, menjawab lugu, “Maaf, tidak Kiai…”

“Ini sama artinya kamu belum berkurban, Kang,” jawab sang kiai dengan tegas.

Kemudian, sang kiai melanjutkan perkataannya, “Kang, ketika kamu berkurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan dalam dirimu untuk menyembelih nafsu himariyah (jiwa keledai) seperti sifat yang pintar bicara ke sana kemari tetapi tidak memiliki ilmu yang cukup, alias bodoh dan tolol (botol)…?”

Sang santri semakin tertunduk, menjawab, “Maaf, tidak Kiai…”

Laaaaa… berarti kamu ini belum berkurban, Kang… hehehe,” jawab sang kiai.

Lalu, sang kiai melanjutkan, “Kang… ketika kamu berkurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu sabu’iyah (jiwa serigala), yakni yang suka menyakiti orang lain seperti suka memfitnah dan adu domba dengan kejinya…?”

Sang santri menjawab dengan semakin malu, “Maaf, tidak Kiai…”

Loooooo… berarti kamu belum berkurban, Kang,” jawab sang kiai.

Kemudian, kiai berkata lagi, “Kang, ketika kamu berkurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu fa’riyah (jiwa tikus) yang suka mengambil hak orang lain, korupsi, kolusi, nepotisme, dan menilep uang orang lain atau rakyat yang sudah diamanahkan kepadamu selama ini…?”

Baca Juga  SMA Wachid Hasyim 2 Taman Sambut Hangat Kunjungan Persaudaraan SMK Malaysia

Sang santri menjawab dengan suara bergetar, “Maaf… tidak Kiai…”

“Kang, berarti kamu ini belum berkurban,” jawab sang kiai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *