OLEH: IFA RATNASARI,S.Sos.I,S.E
Di tengah hiruk-pikuk zaman modern yang dipenuhi oleh gemerlap teknologi dan serbuan informasi, makna pengabdian sering kali terkikis oleh ambisi pribadi. Namun, sejarah akan selalu menyisakan jejak orang-orang yang menjadikan hidupnya sebagai jalan pengabdian bukan sekadar untuk dikenang, tetapi untuk dijadikan inspirasi. Salah satu sosok tersebut adalah Buya Sulchan Ahmad,BA,S.Ag, pendiri MTs Nurul Hidayah Krian Sidoarjo.
Buya Sulchan bukan sekadar tokoh agama, melainkan juga seorang pendidik visioner. Dalam keadaan terbatas, beliau mendirikan MTs Nurul Hidayah dengan semangat untuk mencerdaskan generasi muslim di wilayah Krian dan sekitarnya. Bagi beliau, pendidikan adalah jihad intelektualsebuah jalan panjang yang harus dilalui dengan sabar, penuh kasih, dan tak kenal lelah.
Pada masa awal pendirian, lembaga ini belum memiliki banyak fasilitas. Ruangan belajar masih sederhana, jumlah siswa pun belum signifikan. Namun dengan semangat pantang menyerah, Buya Sulchan terus berjuang agar sekolah ini menjadi wadah yang tidak hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Prinsip beliau sederhana namun mendalam: “Ilmu tanpa akhlak akan melahirkan kerusakan.”
Di era modern seperti sekarang, pengabdian seperti yang dilakukan oleh Buya Sulchan adalah hal yang langka. Banyak lembaga pendidikan berkembang pesat, namun tidak semua memiliki ruh perjuangan dan nilai-nilai keikhlasan dalam pelayanannya. Buya Sulchan mengajarkan kita bahwa membangun sebuah lembaga bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi tentang menanamkan nilai dan membentuk karakter.
Kini, MTs Nurul Hidayah telah berkembang menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam yang disegani di kawasan Sidoarjo. Ratusan alumni telah menebar kiprah di berbagai bidang, menjadi guru, ustaz, profesional, dan pemimpin masyarakat. Semuanya tidak lepas dari pondasi yang diletakkan oleh Buya Sulchan: keteladanan, keikhlasan, dan dedikasi terhadap umat.
Pengabdian Buya Sulchan tidak berhenti pada saat beliau masih hidup. Nilai-nilai yang beliau wariskan terus hidup dalam semangat para guru, murid, dan alumni MTs Nurul Hidayah. Di era yang serba instan ini, kisah beliau adalah pengingat bahwa pengabdian sejati memerlukan waktu, proses, dan ketulusan hati.
Sebagai generasi penerus, sudah seharusnya kita membaca ulang makna pengabdian itu dalam konteks zaman kini. Kita mungkin tidak mendirikan lembaga seperti Buya Sulchan, tetapi kita bisa meneladani semangatnya dalam setiap profesi dan aktivitas. Karena sejatinya, pengabdian bukan soal besar atau kecilnya tindakan, tetapi tentang seberapa tulus kita menjalaninya untuk kemaslahatan orang lain.
Buya Sulchan telah menunjukkan bahwa pengabdian adalah warisan paling mulia. Di tengah perubahan zaman, keteladanan beliau akan selalu menjadi cahaya penuntun: bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang memberi.