Oleh : Noven Lukito HS. (Sekretaris PAC Ikatan Sarjana NU Prambon, Mahasiswa S2 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel)
Wakaf seringkali identik dengan kuburan atau masjid. Zakat, infak, sedekah juga identik dengan kegiatan derma yang sebatas penyaluran atau penggugur kewajiban saja. Padahal dana sosial keagamaan tersebut memiliki nilai manfaat yang besar apabila dikelola dengan amanah, transparan dan profesional.
Wakaf tidak melulu untuk kuburan atau masjid. Wakaf juga bisa dilakukan untuk aset produktif, sehingga kemanfaatan asset tersebut dapat dinikmati sepanjang masa. Pada zaman Rasulullah, Umar ibn Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memohon petunjuk.
Umar berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya.” Kemudian Umar menyedekahkan tanahnya dan mewasiatkan bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi. Umar menyalurkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil, dan tamu (HR. an-Nasa’i).