Mengapa Harus Diam?

Oleh: Artika Rusydiana Devi

(Lulusan Program Imtiyaz PP. Al-Hidayah Tanggulangin Sekaligus Mahasiswi Prodi PGSD Unusida)

Diam merupakan keadaan dimana seseorang tidak memberi respon atau tanggapan dari suatu kejadian yang tengah berlangsung. Diam merupakan hak prerogatif setiap makhluk hidup. Bersikap diam adalah membuka ruang untuk sejenak berpikir, mengistirahatkan pikiran, atau sekedar tidak ingin memikirkan sesuatu. Bersikap diam juga mengisyaratkan setuju ataupun tidak setuju, namun dalam hal ini bersikap diam merupakan hal yang rancu. Sehingga masih dibutuhkan kejelasan selanjutnya dari yang bersangkutan. Bersikap diam juga diartikan mengalah, mengapa demikian ?,  Karena seseorang akan berusaha mengalah dengan cara menahan dirinya. Dan menahan diri di sini diartikan dengan bersikap diam. Bersikap diam juga dimaksudkan untuk menghargai atau menghormati pendapat seseorang, dan cara yang ampuh untuk menghindari konflik yang berkepanjangan.

Mantan Wagub Jateng KH. Taj Yasin Maimoen dalam ceramahnya yang penulis kutip dari laman jatengprov.go.id memaparkan cara yang paling jitu untuk menghindari konflik karena perbedaan pendapat yaitu dengan menumbuhkan rasa saling menghormati. Menghormati di sini penulis artikan sebagai sikap untuk mengalah dari lawan bicara dengan menghargai pendapatnya, meskipun pendapat lawan salah menurut pandangan kita. Artinya menghargai dan menghormati adalah sikap diam tanpa memberikan komentar dan membiarkan pendapat lawan tersebut terjadi.

Sejak zaman Rasulullah hingga wafatnya beliau, bahkan sampai saat ini banyak dari kalangan sahabat, fuqoha’, dan ulama’ yang berbeda pendapat. Namun mereka tetap diam, saling menghormati dan tidak mencela pendapat yang lain. Dari kalangan sahabat sendiri banyak yang berbeda pendapat dalam mengartikan hadits Nabi SAW. Dalam satu contoh yang masyhur adalah ketika dalam perjalanan menuju Bani Quraidhah, Nabi Muhammad SAW berpesan untuk tidak menunaikan salat ashar kecuali sampai pada Bani Quraidhah. Ketika masuk waktu untuk salat ashar, sebagian sahabat ada yang melaksanakan salat ashar karena mereka mengamalkan ilmu yaitu, melaksanakan salat di awal waktu. Sedangkan sebagian sahabat yang lain melaksanakan salat ashar ketika sudah sampai pada Bani Quraidhah, karena mereka menaati perintah Nabi SAW. Dari perbedaan pendapat para sahabat tersebut, tidak ada yang menyalahkan satu sama lain, karena mereka memiliki alasan masing-masing yang dapat dibenarkan.

Baca Juga  Daftar Tunggu Haji di Indonesia

Contoh lain datang dari para imam pendiri madzhab dan para pengikutnya, mereka memiliki pendapat masing-masing mengenai suatu permasalahan fiqh yang terjadi sesuai dengan ijtihad mereka. Namun mereka tetap saling menghormati dan tidak banyak berkomentar mengenai perbedaan tersebut. Imam Syafi’i pernah berkata sebagai bentuk menghargai perbedan pendapat, “pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah, sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”

Bahkan karena perbedaan pendapat antara imam-imam madzhab, terjadi keringanan dalam beribadah. Misalnya ibadah haji yang selalu membutuhkan kondisi suci untuk thawaf, namun karena di sana berdesak-desakan dengan banyak orang; yang menganut madzhab Imam Syafi’i kesulitan menjaga wudhunya, karena dalam madzhab Imam Syafi’i, bersentuhan antara kulit laki-laki dengan perempuan dapat membatalkan wudhu dengan atau tanpa syahwat. Berbeda halnya dengan madzhab Imam Maliki yang tidak batal wudhunya apabila bersentuhan antara kulit laki-laki dengan perempuan dengan catatan tidak menimbulkan syahwat. Adanya perbedaan pendapat tersebut pelaksanaan ibadah haji menjadi lebih mudah. Penganut madzhab Imam Syafi’i dapat mengikuti madzhab Imam Maliki dalam hal berwudhu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *