Penulis : Elvandari Solina Astandi, S.Pd (Guru SMPI Tanwirul Afkar)
Saat menilik tentang emansipasi perempuan di Indonesia, nama Kartini selalu digaungkan sebagai ikon perjuangan yang lantang menyuarakan keadilan dan kesetaraan. Namun, dewasa ini pemikirannya kerap direduksi menjadi sekadar simbol perempuan yang anggun, berkebaya, dan memakai sanggul semata. Padahal, dalam surat-suratnya, Kartini kerap menentang feodalisme dan patriarki Jawa yang mengungkung perempuan. Dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, ia banyak terpengaruh oleh pemikiran sahabatnya, Stella, seorang sosialis yang menanamkan kesadaran tentang ketimpangan sosial dan keadilan gender. Meskipun tercatat Kartini pernah mendapat kesempatan belajar di Belanda, namun ia gagal untuk berangkat karena pemerintah kolonial khawatir ia akan bergabung dengan gerakan sosialisme dan membongkar ketidakadilan feodalisme di Jawa.
Meski akhirnya menikah, Kartini menegaskan sikapnya dengan syarat yang menentang tatanan feodal. Saat memutuskan untuk menikah dengan Bupati Jepara, ia mengajukan beberapa syarat di antaranya — menolak mencium kaki suaminya, menolak berjalan jongkok di hadapannya, serta menolak menggunakan bahasa krama inggil saat berbicara dengan suaminya. Hal ini tentu saja mempertegas hierarki sosialnya. Sikapnya ini jelas layaknya hantaman keras ke ulu hati bagi budaya patriarki yang membelenggu perempuan Jawa pada masa itu. Sayangnya, pada masa Orde Baru, makna perjuangannya dipropagandakan dalam bentuk peran domestik semata. Dalam acara-acara peringatan Hari Kartini, perempuan mendokerasi diri dengan busana kebaya, memakai sanggul di kepala, bersikap anggun, dan lemah lembut dalam bersuara. Pada masa Orde Baru pun secara struktural perempuan diatur jika ingin berkegiatan dalam forum. Perempuan harus terlibat dalam kegiatan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) jika ingin berkarya. Tentu saja kegiatannya tak jauh dari aktivitas domestik semacam memasak, menyulam, dan aktivitas rumah tangga lainnya. Tak jarang saat ini PKK atau bahkan organisasi perempuan lainnya dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung dalam kampanye pemilihan umum (pemilu) oleh beberapa kekuatan politik, seiring dengan perkembangan demokrasi multipartai. Lantas bagaimana refleksi peringatan Hari Kartini hari ini? Apakah warisan Orde Baru yang mereduksi emansipasi oleh Kartini lebih banyak berfokus pada simbolisme estetika atau sudah mampu mengusung perjuangan yang lebih substantif sesuai cita-citanya?
Ketimpangan Perempuan di Dunia Kerja
Persoalan yang diperjuangkan Kartini lebih dari seabad lalu masih relevan hingga kini. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 5), kesetaraan gender menjadi indikator utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil. Namun di Indonesia, perempuan masih menghadapi berbagai hambatan struktural dalam dunia kerja seperti tindak diskriminasi, kekerasan seksual, kurangnya pemenuhan hak-hak dasar perempuan, kurangnya pemenuhan sarana prasarana laktasi untuk ibu menyusui, rendahnya tingkat partisipasi kerja perempuan, serta stigma negatif mengenai peran perempuan dalam sosial masyarakat. Beberapa ketimpangan perempuan di dunia kerja yang masih sering terjadi sebagai berikut :
- Gender Pay Gap dan Hambatan Struktural
Berdasarkan laporan The Global Gender Gap Report 2016, dari 144 negara cakupan di tahun 2016, hanya 59% negara yang menunjukkan penurunan kesenjangan antargender di bidang ekonomi (World Economic Forum, 2016). Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia berada di peringkat yang rendah dalam hal kesetaraan. Berdasarkan hasil survei World Economic Forum tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke-88 dalam Global Gender Gap Index dan peringkat ke-107 dalam sub-indeks Economic Participation and Opportunity (World Economic Forum, 2016). Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan bahwa rata-rata upah perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan selisih sekitar 23%. Perempuan juga lebih sulit menempati posisi kepemimpinan karena masih ada bias bahwa tanggung jawab kepemimpinan harus diemban oleh laki-laki. Perempuan dianggap lebih sensitif dan mengedepakan intuisi yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan organisasi. Beberapa lembaga bahkan menggunakan dalil agama untuk menjustifikasi bahwa laki-laki adalah pemimpin alami, padahal konteks kepemimpinan dalam Al-Qur’an lebih kompleks dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan perempuan dari ruang publik.
- Kebijakan Cuti Melahirkan dan Fleksibilitas Kerja
Meskipun UU Ketenagakerjaan mengatur hak cuti melahirkan selama tiga bulan, banyak perempuan tetap kehilangan pekerjaan setelah melahirkan. Beberapa instansi bahkan hanya memberikan hak cuti di bawah standar yang telah ditentukan. Minimnya kebijakan kerja fleksibel juga mempersulit perempuan yang ingin kembali bekerja setelah merawat anak-anak mereka. Padahal di negara-negara maju bahkan telah menerapkan sistem kerja fleksibel dan cuti parental bagi ayah, namun Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal ini.
- Sistem Pendukung bagi Perempuan
Banyak perempuan yang akhirnya memilih berhenti bekerja bukan karena kurangnya kompetensi, tetapi karena kurangnya support system (sistem pendukung) seperti dukungan keluarga, daycare yang terjangkau, kebijakan cuti keluarga, serta akses ke fasilitas kesehatan yang layak. Beban ganda perempuan yang bekerja dan mengurus rumah tangga sering kali menyebabkan mereka mengalami kelelahan mental (burnout).
- Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja
Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2023. Namun, implementasi di lapangan masih minim. Banyak perempuan menghadapi pelecehan di tempat kerja, tetapi takut melaporkan karena khawatir dipecat atau diasingkan di tempat kerja. Kultur victim blaming ini masih melekat kuat, sehingga korban sering kali memilih bungkam dengan ketidakadilan yang dialami.