Oleh: Ayung Notonegoro*
Kabupaten Sidoarjo dapat dikatakan sebagai penyangga utama episentrum berdirinya Nahdlatul Ulama. Posisinya yang berada di perlintasan Surabaya – Jombang, mau tak mau turut menjadi faktor-faktor yang terlibat dalam dinamika tersebut. Baik secara personal ketokohan atau faktor sosiologis lainnya.
Dalam sejumlah literatur, memang tak banyak yang menyebut nama tokoh-tokoh asal Sidoarjo yang terlibat aktif dalam dinamika awal berdirinya NU. Akan tetapi, bukan berarti Sidoarjo lantas menjadi daerah “antah berantah” tanpa kontribusi apapun. Setidaknya, ada faktor sosiologis yang memicu awal mulanya NU.
Nahdlatul Ulama berdiri tak melulu dalam rangka vis a vis melawan Wahabi yang mengganggu praktik-praktik Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang bermadzhab Syafiiyah serta menghormati tiga madzhab fiqih lainnya. Tapi, juga dipicu adanya kemerosotan dakwah keislaman.
KH. Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri dan penggerak NU, telah melakukan riset yang cukup mendalam perihal turunnya jumlah santri di pesantren/ madrasah dalam jangka waktu 40-50 tahun sebelum berdirinya NU. Dalam edisi perdana Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), Nomor 1, Tahun I, Muharram 1346 H, penelitian tersebut dipublikasikan.
Kiai asal Jombang itu, mencatat terjadinya penurunan jumlah santri, setidaknya di empat daerah yang menjadi lokus penelitiannya. Yakni, di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto dan Jombang. Di Sidoarjo sendiri, di sekitar dekade 1880-90, tercatat ada 1.740 santri di 16 lembaga pendidikan Islam (pesantren). Namun, pada saat Kiai Wahab riset – atau setidaknya saat data itu dipublikasikan – tersisa hanya 484 santri saja. Bahkan, sejumlah pesantren sudah tak aktif lagi.
Kondisi demikian, menurut Kiai Wahab, dipicu oleh mundurnya semangat dakwah para pemuka agama Islam (kiai) pada masa itu. Ia menulis demikian:
“….. Wewendine awit punika mangsa dumugi
semangkin murid agami Islam mboten munda’
nanging malah saya sudo. Mekoten wahu saking sembrononipun para mengertos hing puniki zaman. Mboten sami tuminda’ kados kang kino……”
Artinya kurang lebih demikian:
“Sejak zaman itu hingga tiba masa sekarang, murid agama Islam [santri] tidaklah bertambah, malah semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena sembrononya orang-orang yang mengerti [kiai] zaman sekarang. Tidaklah bertindak sebagaimana para ulama terdahulu [yang semangat dan gigih].”
Fenomena tersebut, lantas mendorong Kiai Wahab untuk mengaktivasi berdirinya madrasah-madrasah. Di antaranya dengan mendirikan jejaring madrasah Nahdlatul Wathon. Gerakan yang bermula di Surabaya itu, kemudian meluas ke berbagai daerah. Tak terkecuali di Kabupaten Sidoarjo.
Di Sidoarjo, terdapat satu Madrasah Nahdlatul Wathon yang berdiri di Jasem. Pendiri dan pengajar utamanya adalah KH. Abdul Ghani. Dalam SNO, Nomor 5 Tahun II, Jumadil Awal 1347 H, dimuat profil dari madrasah tersebut. Disebutkan bahwa Madrasah Nahdlatul Wathon di Sidoarjo terhitung sangat maju dengan bangun yang besar (13×17 m) dan halaman yang luas. Terletak di Jalan
Jasem, Sidoarjo.