Meresapi Kriteria Faqir-Kaya dalam Perspektif Fiqih dan Dimensi Psikologis

banner 468x60

Mazhab Hanafi memiliki pendapat berbeda, menganggap bahwa keduanya setara, dan siapa pun yang mencapai nisab dianggap kaya dan tidak boleh menerima zakat. Pendapat yang paling diterima oleh mayoritas ulama adalah bahwa kriteria kekayaan tidak dapat diukur secara pasti, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan keadaan individu, kelapangan hidup, dan kepuasan batin. Hal ini mencerminkan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap pemahaman zakat dalam konteks fiqih Islam.

Dengan demikian, kewajiban memberikan zakat atas kekayaan seseorang muncul ketika jumlahnya mencapai nisab dan telah berlalu satu tahun, namun hal ini tidak menyiratkan larangan untuk menerima zakat jika seseorang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pemahaman ini diperkuat oleh dasar-dasar hukum Islam, baik yang terkandung dalam teks-teks maupun makna yang terkandung di dalamnya. Pendapat ini juga diperkuat oleh penggunaan bahasa dan terminologi yang digunakan dalam beberapa riwayat,:

banner 468x60

عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلَالِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: «أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا». قَالَ: ثُمَّ قَالَ: «يَا قَبِيصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُل تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ. فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا»

Dari Qabishah bin Mukhaariq al-Hilaliy radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Aku dulu menanggung beban hutang, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu meminta kepada beliau tentangnya. Lantas beliau bersabda, “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga golongan orang; seorang laki-laki yang menanggung beban (hutang, atau harta dalam rangka mendamaikan orang yang berselisih), maka halal baginya untuk meminta-minta hingga dia mendapatkan (harta yang bisa dia bayarkan untuk) tanggungannya, kemudian dia menahan diri (dari meminta-minta); seorang laki-laki yang tertipa musibah yang menghancurkan harta bendanya, maka halal baginya untuk meminta hingga dia mendapatkan harta yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya; dan seorang laki-laki yang tertimpa kemelaratan (setelah sebelumnya kaya) hingga ada tiga orang berakal dari kaumnya berkata, ‘Sungguh kemelaratan telah menimpa si Fulan’, maka halal baginya meminta hingga dia bisa mendapatkan harta yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Maka meminta-meminta selain ketiga golongan tersebut, wahai Qabishah, ia adalah harta haram yang dimakan oleh pelakunya.” (HR. Muslim)

Baca Juga  Hasanah Fī al-Dunyā: Membaca Al-Qur'an sebagai Kunci Adaptasi, Kesehatan Mental, dan Percaya Diri di Era Modern

Kebutuhan terhadap sesuatu menandakan kurangnya kekayaan, sedangkan keberlimpahan menunjukkan sebaliknya. Seseorang yang memerlukan sesuatu dianggap miskin, sesuai dengan prinsip umum yang disampaikan dalam nash, dan orang yang merasa memiliki kecukupan dianggap kaya, termasuk dalam kategori umum yang melarang meminta-minta. Allah SWT menegaskan kebutuhan dan ketergantungan sebagai bukti kemiskinan dan kafaqiran melalui firman-Nya:

﴿۞ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ﴾ فاطر 15

Wahai umat manusia, sungguh kalian membutuhkan Allah dalam segala hal. Hanya Allahlah yang Mahakaya dan tidak membutuhkan keberadaan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Dia berhak mendapatkan puja dan puji dalam segala situasi.

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *