Mesisan Timbangane Kurang Vs Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Penulis : Muslimin (Guru SMP Pancasila Krian)

Pernahkah kita bereksperimen membawa uang sedikit untuk pergi ke pasar, swalayan atau tempat perbelanjaan ? Kita selalu membawa uang lebih, dengan alasan mesisan timbangane kurang. Mungkin alasan mesisan timbangane kurang ini adalah motto yang selalu berkelindan untuk membeli barang yang tak kita butuhkan. Sebenarnya kita inginnya membeli barang yang kita butuhkan, tetapi berhubung ada uang lebih, seringkali kita membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Apalagi ada iming – iming Diskon.

Sebenarnya kita sudah pintar dan mampu mendefinisikan apa itu kebutuhan primer, sekunder dan tersier di bangku sekolah kita dulu. Ibarat batang pohon sebagai kebutuhan primer (pokok), cabang atau dahan sebagai kebutuhan sekunder (penunjang), sedangkan ranting sebagai kebutuhan tersier (mewah). Definisi itu nyatanya hanya menjadi teori belaka, sementara praktiknya kita belum mampu. Pengendalian dalam membelanjakan sebuah kebutuhan pokok, seringkali merambah pada kebutuhan yang tidak terlalu amat penting.

Gambaran dari orang yang membelanjakan kebutuhan dapat kita cermati dari pedagang kecil yang berjualan di tepi jalan. Resiko musim; panas kepanasan, hujan kehujanan. Itu belum resiko lainnya misalnya bensin habis, ban bocor, jualan tidak laku atau basi dan lain sebagainya. Sementara hasil penjualannya hanya cukup untuk membelanjakan kebutuhan sehari hari demi mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya. Alih alih membeli pakaian baru untuk idul fitri, besok makan apa terkadang bergantung pada hasil penjualan. Pedagang kecil ini masih fokus pada kebutuhan primer; urusan perut, bayar kos, listrik, LPG, SPP anaknya, dan bahkan tidak sempat memikirkan keinginan yang muluk-muluk.

Baca Juga  SULING TIRTA; Sustainable Living Santri Tanwirul Afkar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *