SIDOARJO, NU Delta – Orang yang hamil memiliki rincian hukum terkait puasa. Pertama jika tidak puasa karena khawatir akan dirinya sendiri maka ia wajin menghadqa puasanya. Kedua jika tidak puasa karena khawatir akan bayinya maka wajib mengqhadha puasa sekaligus membayar fidyah. Sementara yang ketiga jika khawatir dirinya dan bayinya maka cukup diqadha tanpa perlu membayar fidyah. Besaran fidyah yang harus dibayar adalag 1 mud atau 6-7 Ons makanan. Ibun Umar dan Ibnu Abbas sepakat mengatakan tidak ada yang membantah persoalan hukum di atas.
Jika seorang ibu hamil dalam kondisi bepergian dan menyandang status musafir. Bila ia membatalkan puasa dengan niat mengambil kemurahan Allah kepada orang yang sedang bepergian jauh, maka ia diwajibkan mengqadha tanpa harus membayar fidyah. Namun bila tanpa niat itu, maka wajib membayar fidyah juga. Kasus ini menandakan akan pentingnya niat dalam ibadah.
Pentingnya Perhatian Suami Saat Istri Hamil
Dalam kondisi istri hamil, seorang suami sebaiknya membantu istrinya dengan memenuhi keperluannya. Membekali diri dengan pengetahuan medis dan kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan, melahirkan dan menyusui. Mengantar periksa rutin kehamilan, memastikan makanan bergizi. Perlakuan suami seperti itu akan menjaga kesehatan istri yang sedang hamil, hingga mempermudah kelahiran. Dengan perlakuan baik tersebut, akan tercermin hubungan relasi yang baik dalam keluarga.
Bagi seorang suami hendaknya berhati-hati ketika berjima’ saat istri hamil. Karena pada saat hamil perempuan dalam suasana yang berat, khususnya tiga bulan pertama. Berjima’ saat istri hamil diperbolehkan selama tidak membahayakan secara medis. Suami yang baik akan senantiasnya memperhatikan kondisi istrinya saat hamil.
Mengatur Kehamilan
Ada beberapa hal penting dalam mengatur kehamilan, artinya tetap berjima’ namun tidak hamil. Pertama sebab medis, misalnya usia di atas 35 tahun. Dalam medis sudah dinyatakan resiko tinggi hamil dan melahirkan. Riwayat kesehatah juga perlu diperhatikan untuk mengatur kehamilan. Kedua sebab ekonomi. Jangan semena-mena dengan alasan anak adalah rezeki, setiap anak membawa reziki masing-masing. Harus lebih rasional, tidak mungkin susu dan lain sebagainya langsung datang dari malaikat. Ketiga memperhatikan estestika, terkadang perempuan ingin menjaga tubuhnya, seperti tidak ingin gemuk
Metode mencegah kehamilan beragam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Metode yang paling awal adalah ‘Azl atau mengeluarkan mani di luar farji pasangan. Adapun hukum ‘Azl para ulama berbeda pendapat. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membolehkan. Imam Ghozali menyandarkan pendapatnya pada hadist-hadist yang kuat. Secara etika ‘Azl tidak baik, karena mani sebaiknya tidak dibuang pada yang bukan tempatnya.
Sebagian ulama berpendapat secara mutlak kebolehannya. Beberapa ada yang mengharamkan secara mutlak. Ada juga yang berpendapat boleh namun atas ridhonya istri, maka menjadi tidak halal ketika istrinya tidak ridho. Hal ini dikarenakan mengurangi kenikmatan istri, maka menurut pendapat ini perlu kesepakatan. Ada ulama yang mengharamkan meski tanpa ‘Azl tetapi istrinya sakit. Dan ada yang berpedapat boleh untuk budak namun tidak boleh bagi istri yang merdeka. Pendapat yang kuat adalah boleh. Pendapat yang makruh dilihat lebih condong ke haram, boleh atau meninggalkan keutamaan. Yang kuat untuk pendapat yang makruh adalah meninggalkan keutamaan.