SIDOARJO.nusidoarjo.or.id – Pengasuh Asrama Darul Qur’an Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng, Jatirejo, Mojokerto, Nur Millah Muthohharoh menyoroti praktik mengajar tajwid dengan cara melebih-lebihkan. Hal tersebut ia sampaikan saat mengisi penataan metode qiroati yang diadakan oleh koordinator pendidikan Al-Qur’an metode qiroati cabang Sidoarjo pada Kamis (01/05/2025) di Gedung MWCNU Sidoarjo.
“Salah satu hal yang perlu dikaji ulang dalam pengajaran tajwid adalah metode mengajar dengan cara melebih-lebihkan,” katanya.
Dijelaskan metode tersebut cukup populer dan sering dilakukan, bahkan kadang-kadang tanpa disadari. Ada guru yang sebenarnya tidak bermaksud melebih-lebihkan, namun karena mengikuti kebiasaan atau anggapan bahwa bacaan yang dilebihkan itu lebih benar, akhirnya ikut melakukannya.
“Beberapa orang bahkan berpegang pada prinsip seperti ini, kalau ingin hasilnya 100%, maka ajarkan 150%, supaya ketika menurun tetap berada di level 100%. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian,” ucapnya
Justru karena terbiasa diajari dengan cara yang dilebih-lebihkan, murid akhirnya membaca bacaan itu secara berlebihan pula dalam praktiknya. Seorang ulama besar dari Suriah, yang juga merupakan guru besar Al-Qur’an dan menetap di Arab Saudi, pernah menyatakan bahwa cara mengajar seperti ini haram, karena termasuk bentuk kebohongan terhadap riwayat.
“Jika riwayat bacaan dari guru-guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah SAW tidak seperti itu, maka melebih-lebihkan bacaan sama saja dengan menyampaikan riwayat yang tidak benar,” ujarnya.
Doktor ulumul Qur’an itu lantas mencontohkan. Misalnya, huruf qāf dibaca menjadi qqāf secara berlebihan, itu seakan-akan menyampaikan kepada murid bahwa bacaan seperti itulah yang benar sesuai sanad, padahal tidak demikian. Dalam ilmu tajwid memang dikenal istilah tahqiq, yaitu bentuk bacaan yang lebih jelas dan pelan, biasanya digunakan dalam proses belajar untuk pemula.
“Tapi, tahqiq pun tidak berarti bacaan yang dilebih-lebihkan secara ekstrem. Penggunaan metode tahqiq seharusnya hanya dalam konteks tertentu, bukan diterapkan ke semua murid dalam satu kelas tanpa memperhatikan kemampuan mereka,” jelasnya.
Analoginya seperti memasak sayur satu panci, yang idealnya diberi satu sendok garam, tapi malah diberi tiga sendok. Bukannya menyempurnakan rasa, justru merusak masakan. Begitu pula dalam mengajar tajwid, melebih-lebihkan secara general justru bisa merusak kualitas bacaan. Pengajaran seperti ini seharusnya dilakukan secara individual.
“Jika ada murid yang memang selalu kurang dalam memanjangkan mad misalnya, maka guru boleh saja memberikan contoh yang agak dilebihkan sebagai latihan, misalnya mengucapkan “ulāāāika”. Tapi metode ini hanya berlaku untuk murid tersebut saja dan bersifat sementara,” terangnya.
Sayangnya, banyak murid yang justru terbentuk dari pola mengajar seperti ini tanpa pernah dikembalikan pada bacaan normal.
“Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menjadi terlalu kaku dan suka menyalahkan bacaan orang lain yang sebenarnya sudah sesuai, hanya karena berbeda dari apa yang diajarkan gurunya yang berlebihan,” pungkasnya.