NU, Jangan Lupa Rantingnya

Oleh : Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I*

 Tepatnya pada 31 Januari 1926 silam, organisasi Nahdlatul Ulama (NU) didirikan. Terbentuknya organisasi Islam ini didasari atas banyaknya perbedaan ideologi dan arah politik dalam agama Islam di Indonesia. Sekarang, organisasi ini menjadi salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia.

Sebagaimana tersebutkan di laman Nahdlatul Ulama, NU sendiri juga terbentuk atas nama kaum tradisionalis dalam menanggapi berbagai fenomena di dunia Islam yang ada di dalam maupun di luar negeri. Seiring perkembangannya, setiap adanya perhelatan besar di NU baik Konfercab, Konferwil, bahkan Muktamar selalu membahas banyak program besar dan sangat strategis untuk menjawab tantangan global. Mulai dari isu-isu nasional maupun internasional selalu menjadi topik materi utama dalam pembahasan disetiap komisinya. Namun sebutan untuk pengurus NU paling bawah, yakni ranting hampir tidak masuk pembicaraan dalam setiap perhelatan yang ada.

Untuk itu andaikan kita mau terbuka dan jujur melihat suatu fenomena ini, bahwa akar rumputnya NU itu ada di ranting atau desa. Hal ini bisa kita lihat mulai dari sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA), pelaku amaliyah dan kultur NU paling banyak dianut di ranting. Bahkan tidak menutup kemungkinan para pejabat, perangkat, maupun aparat desa sejatinya mayoritas beramaliyah dan berkultur  NU. Daya simpulnya, prosentase warga NU paling banyak justru adanya di tingkat ranting.

Baca Juga  Habibie di Mata Santri
Writer: Heru SiswantoEditor: Boy Ardiansyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *