Ontologi Al-Jamaah dan Interpretasi 72 Golongan Aliran Sesat

Oleh: Muh. Fiqih Shofiyul Am (Tim LBM MWC NU Tanggulangin Sekaligus Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo)

Membangun Gerakan, Mempersiapkan Kader Masa Depan. Tema Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKD) dan Diklatsar Ansor-Banser  Sidoarjo yang dilaksanakan pada tanggal 06 Oktober 2023 di SMK Ma’arif NU Tanggulangin Sidoarjo. Sebagai salah satu selogan atau yel-yel dalam acara itu, “Aswaja: Aqidahku”, tentunya tidak sah jika tidak ada pemaparan materi ke-aswaja-an dalam acara tersebut yang kebetulan penulis diutus untuk mengisi materi ke-aswaja-an tersebut.

Sebagaimana pada umumnya, pemaparan materi aswaja tidak lepas dari aspek ontologinya mulai dari definisi hingga beberapa ruang lingkup yang menjelaskan eksistensi Aswaja diantara berbagai aliran yang muncul dan berkembang dalam catatan sejarah Islam. Namun, ada beberapa pertanyaan dari beberapa sahabat peserta diklatsar yang mengetuk pikiran penulis untuk menganalisisnya lebih lanjut. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang akan penulis paparkan sebagai sub-judul dalam penulisan ini.

  1. Kontradisi Antara Konsep Al-Jamaah Dengan Aliran Yang Mengajak Untuk Bersatu

Satu aliran yang selamat menurut hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi terlepas dari kontroversi kesahihan hadits tersebut, para ulama menafsirkan aliran ke 73 itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Seluruh aliran yang muncul dalam diskursus kajian Islam mengklaim bahwa mereka adalah aliran yang selamat sesuai dengan klaim Nabi. Namun, klaim aliran-aliran itu terkesan subjektif dan tidak berdasar baik teoritis maupun praktis. Ambil contoh aliran Syi’ah, mereka mengkafirkan para sahabat selain Imam Ali dan keluarganya, Khawarij, memiliki catatan berdarah dalam sejarah Islam dengan membunuh Khalifah Utsman, dan Mu’tazilah, dengan jelas memproklamirkan diri keluar dari majlis Hasan al-Bashri.

Konsep al-Jamaah sebagai aliran tentunya merupakan interpretasi dari diksi “ma ana alaihi wa ashabi” yakni segala konsensus atau Ijma’ yang diputuskan oleh para sahabat yang sama sekali tidak diingkari oleh siapapun tentang perkembangan kajian Islam, dan tentunya perkembangan kajian Islam merupakan suatu keniscayaan yang harus diakui sejak penyebaran Islam yang merambah daerah diluar jaziah arab sehingga menimbulkan berbagai polemik yang membutuhkan untuk jurispudensi hukum.

Baca Juga  Meniru Pengembala Untuk Berjiwa Leadership Bagi Pemimpin

Berkembangnya Islam di era tabi’in juga menuntut untuk formalisasi syariah yang berkembang pula karena seiring dengan perkembangan Islam maka hal baru yang dibawa oleh tradisi non-arab juga akan mengalami afirmasi untuk disandingkan dengan tradisi Islam, maka sejak itulah muncul metode analogi hukum atau lebih dikenal dengan Qiyas.

Setelah memasuki era tabi’u al-Tabi’in kemudian muncul standarisasi dan kredensi untuk mengukur kredibilitas pemahaman dan interpretasi kajian syariah Islam yang disepakati oleh para pakar menjadi beberapa madzhab dan aliran, baik dalam fiqih, tasawuf, bahkan akidah. Untuk itulah beberapa sempalan aliran yang tidak setuju dengan standarisasi ini bermunculan dan sangat terang memisahkan diri dari golongan mayoritas dan menganggap mereka adalah representasi dari satu-satunya golongan yang selamat sesuai dengan ramalan Nabi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *