Oleh : Muh. Fiqih Shofiyul AmT
im Aswaja Center PCNU Sidoarjo
Pertanyaan di atas seringkali menjadi problematika yang tidak kunjung usai di kalangan pemuda dan pemudi yang sudah merasa dirinya harus menjalani kehidupan rumah tangga, mereka merasa khawatir menjalani kehidupan pernikahan dengan orang yang mungkin belum sama sekali dikenal atau sudah mengenal akan tetapi belum pernah menjalin hubungan dekat. Hal ini di tengarai akan mengancam keharmonisan hubungan pernikahan yang akan memicu konflik internal antara pasangan suami istri yang tidak bisa menimbulkan benih cinta diantara keduanya, sehingga mengharuskan mereka untuk menjalin hubungan percintaan pra-nikah yang sering diistilahkan dengan pacaran, dan pada tatanan teoritiknya paradigma demikian sangat tidak mendasari pola pikir yang ilmiyah.
Ali al-Huwairini, seorang filsuf, aktor, sutradara, sineas, dan juga seorang pemikir liberal reformis Saudi Arabia, berpendapat bahwa akal adalah Mihrab suci yang tidak bisa di jangkau oleh setan, hanya saja setan menjadikan nafsu sebagai media untuk mengalahkan dominasi akal terhadap setiap tindakan manusia. Lantas realita sosial di atas apakah sudah memenuhi dominasi akal sehat manusia untuk menunjukan dirinya sebagai makhluk yang bernalar dan berkehendak bebas?.
Secara teoritik, definisi cinta yang difahami oleh peneliti sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Sa’id Ramdlan al-Bouthi yang mengatakan bahwa cinta adalah sebuah ekspresi tentang hubungan dengan segala sesuatu yang membawa ketenangan ketika dekat dan mengakibatkan kegusaran ketika jauh. Al-Bouthi menilai cinta adalah suatu bentuk emosional yang secara fitrah menjadi anugrah bagi setiap makhluk hidup yang muncul tanpa sengaja, al-Bouthi juga membedakan antara cinta itu sendiri dan tindakan yang memicunya sebagaimana diumpamakan seseorang ketika lapar, secara emosional dia merasakan untuk mendapatkan makanan untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya, akan tetapi terdapat norma sosial dan agama yang telah menata bagaimana dia layak untuk mendapatkan makanan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itu, menurut al-Bouthi tatanan Syariah mengatur bagaimana seseorang harus bertindak dengan tepat dan layak untuk bisa mewujudkan cinta yang dia rasakan, dan Syariah telah mengatur hal itu dalam hukum-hukum pernikahan.
Jika teori di atas digunakan untuk menganalisis hubungan pacaran pada tatanan realitanya, menurut peneliti sangat tidak mencerminkan kemurnian cinta itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa pacaran dilakukan atas dasar saling menyukai, dan itu merupakan suatu perasaan emosional yang sesuai dengan teori di atas, hanya saja jika mencoba untuk terbuka terhadap kesalahan tindakan yang ditimbulkan dari hubungan tersebut, sangat banyak norma Syariah yang telah di terjang yang menjadikan cinta dianggap sebagai hal yang negatif.
Pada dasarnya percintaan pra-nikah adalah suatu perasaan yang bias antara kenyataan ataukah hayalan, tidak mungkin seorang yang di rundung cinta akan menampakan sisi negatif terhadap orang yang dicintainya, andaikan hal ini dijadikan faktor untuk menentukan dengan siapa seseorang harus menikah, menurut akal sehat ini termasuk dominasi akal ataukah hanya nafsu belaka ?, sedangkan dalam hubungan pernikahan tidak mungkin seseorang akan terlihat positifnya saja sedangkan mulai tidur hingga bangun orang yang pertama kali dia pandang adalah pasangan hidupnya sendiri.
Dalam fitrahnya, manusia memang diberikan insting binatang sebagaimana menurut Socrates yang mengkategorikan manusia dalam entitas binatang yang berkembang biak. Hanya saja dia dibekali akal yang menjadikannya berbeda dengan makhluk yang lain. Jika akalnya dominan, dia akan lebih mulia daripada malaikat, dan jika akalnya terdominasi, dia akan lebih kejam dari pada sekedar setan. Norma agama dan kearifan lokal membentuk suatu pemahaman universal tentang kebahagiaan yang ideal, sebagaimana menurut Plato bahwa kebahagiaan adalah suatu hal yang tidak menyalahi ilmu pengetahuan. Lantas jika norma agama tidak menjadi standar utama dalam tatanan pernikahan, mau menggunakan aturan yang mana agar seorang manusia bisa menentukan tindakannya dengan tepat ?.