Sebuah riwayat menyebutkan:
مَن أَحَبَّ أن يُبْسَطَ له في رزقِه ، وأن يُنْسَأَ له في أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَه.
Makna hadits:
“Barang siapa ( pribadi maupun kelompok) yang mendambakan kelapangan rizki, kebugaran fisik dan panjang usia, maka hendaklah menyambung tali asih ( silaturahim),”
Dari riwayat diatas, setidaknya kita bisa mengambil beberapa pelajaran berikut:
1- Ketika anda sedang menyambung, berarti ada sesuatu yang terputus, maka dibutuhkan usaha berupa penyambungan dan penghubungan. Dalam dunia bisnis, jaringan kemitraan adalah nomor satu, akan tetapi tidak semua orang perlu kita sambung. Kita harus memilih dan memilah agar tidak salah dalam berjejaring.
2- Jika dalam dunia bisnis harus selektif (berhati-hati) dalam memilih mitra kerja, maka tidak demikian dalam hubungan kekerabatan. Semua kerabat keluarga harus kita sambung sebagai bakti kita pada orang tua dan agama. Jika kerabat yg ingin kita sambung menolak, maka kewajiban kita sudah gugur, karena tugas kita hanya menyambung, dan kita tetap dianjurkan menyambungnya dengan doa.
Artinya, meskipun orang lain memutus tali silaturahim, kita tidak boleh ikut-ikutan memutusnya, tapi tetap membuka pintu perdamaian denganya. Hal inilah yang diajarkan nabi ketika membangun pondasi ukhuwah Islamiyyah pada masa-masa awal hingga pada puncaknya menyambungkan tali persaudaraan antara sahabat Muhajirin dan Anshor yang menjadi kekuatan utama dalam merebut kota Makkah.