Penulis : Rahmad Sugianto, M.Pd. – SMA Wachid Hasyim 2 Taman
Di sudut kota Mekkah yang hangat dan bergelora oleh kehidupan kaum Quraisy, lahirlah seorang pemuda tangguh bernama Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia berasal dari suku terhormat, Bani Zuhrah—satu garis keturunan dengan Aminah binti Wahhab, ibunda Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Sa’ad sering disebut sebagai paman Nabi dari pihak ibu.
Sejak muda, Sa’ad dikenal bijak, pemberani, dan terampil dalam memanah. Namun hidupnya berubah total ketika cahaya Islam datang membawa kebenaran. Ia adalah salah satu dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, dan termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam.
Namun keimanannya tidak datang tanpa ujian. Ketika ibunya, Hamnah, mengetahui bahwa Sa’ad telah masuk Islam, hatinya murka. Ia mogok makan, menangis, dan mengancam akan meninggal dunia jika Sa’ad tidak kembali ke agama nenek moyang.
Bayangkan betapa beratnya pilihan itu bagi seorang anak. Tapi dengan suara lembut dan hati yang mantap, Sa’ad berkata,
“Wahai Ibu, meski engkau memiliki seratus nyawa dan satu per satu keluar dari tubuhmu agar aku meninggalkan Islam, aku tidak akan meninggalkannya. Tapi aku tetap akan berbakti kepadamu.”
Ucapan itu menggambarkan keteguhan iman Sa’ad, sekaligus akhlaknya yang mulia kepada orang tua. Akhirnya, melihat keteguhan hati putranya, Hamnah luluh dan merelakannya menjadi Muslim.
Keteguhan itu terus tumbuh bersama waktu. Ketika umat Islam berhadapan dengan musuh dalam Perang Qadisiyah, Khalifah Umar bin Khattab mempercayakan kepemimpinan pasukan kepada Sa’ad.
Tapi siapa sangka, di saat penting itu, tubuh Sa’ad dilanda penyakit.
Bisul-bisul menyakitkan menyebar di tubuhnya, membuatnya tak mampu duduk di atas pelana kuda. Namun, Sa’ad tidak menyerah. Ia tetap memimpin pasukan dari atas ranjang, memberi komando dengan tegas, menyusun strategi dengan tajam. Perang Qadisiyah dimenangkan. Islam berkembang ke negeri Persia.
Suatu hari, saat sebuah pertempuran berlangsung, sahabat perempuan Nabi, Ummu Aiman, tengah memberi minum pasukan yang terluka. Tiba-tiba, seorang musuh memanahnya hingga ia jatuh dan auratnya terbuka.
Melihat itu, Rasulullah SAW murka. Ia mengambil anak panah dan menyerahkannya kepada Sa’ad seraya berkata:
“Wahai Sa’ad, lemparkan anak panah ini! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu!”
Itu adalah penghormatan tertinggi dari Nabi kepada seorang sahabat. Tak pernah sebelumnya Rasul berkata seperti itu kepada siapa pun. Sa’ad pun melemparkan anak panah itu dengan penuh semangat, dan panah itu tepat mengenai sasaran. Rasul pun tersenyum.
Doa Nabi kepada Sa’ad menjadi kenyataan. “Ya Allah, kabulkanlah doa Sa’ad jika ia berdoa kepada-Mu.” Sejak saat itu, doa Sa’ad dikenal sangat mustajab.
Pernah suatu ketika, seorang laki-laki sombong berkata kepada Sa’ad, “Harta ini milik kami, dan kami berikan kepada siapa pun yang kami mau!” Sa’ad pun tenang, lalu menengadahkan tangan sambil berkata, “Apa aku harus berdoa?”
Orang-orang langsung ketakutan. Mereka tahu, jika Sa’ad berdoa, maka takdir bisa berubah, dan orang zalim bisa celaka. Bahkan pemimpin Madinah saat itu, Marwan bin Hakam, segera merangkul Sa’ad dan memohon, “Demi Allah, jangan engkau berdoa. Itu harta Allah, bukan harta kami.”
Begitulah kisah Sa’ad bin Abi Waqqash. Seorang pemuda pemberani, ahli memanah, yang doanya menembus langit. Ia tak hanya hebat di medan perang, tapi juga dalam menjaga hati, iman, dan baktinya kepada orang tua.