Sarung dan peci Santri

Oleh : Dr. Heru siswanto, M.Pd.I*

SIDOARJO, nusidoarjo.or.id | “Pada saat KH. Abdul Wahab Khasbullah mendapatkan undangan dari Presiden Soekarno ke istana yang mewajibkan memakai jas dan dasi. Suatu hal yang menarik dan patut menjadi suatu pelajaran berharga bagi generasi kita adalah beliau pada waktu itu datang dengan atasan berupa jas tapi dengan bawahan tetap berupa sarung. Dari sini sebetulnya beliau ingin menunjukkan bahwa sarung merupakan warisan budaya dan juga identitas nasionalisme yang patut menjadi kebanggaan kita”

Dalam upacara 22 Oktober nanti, sarung dan peci menjadi atribut wajib yang harus dipakai. Kedua atribut ini memang sudah identik dengan pakaian sehari-hari para santri pada umumnya. Lebih dari itu pernah disampaikan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Jakarta, bahwa sarung dan peci secara simbolik memberikan penegasan identitas Islam Nusantara. Dan, kedua atribut ini memang memiliki perberbedaan dengan budaya yang lainnya.

Adakah kaitannya dengan kepahlawanan? dari sejumlah bukti historis yang ada memberikan petunjuk kepada kita, bahwa beberapa aktivis kemerdekaan awal  berasal dari kalangan santri menggunakan sarung dan peci untuk melakukan berbagai macam aktivitasnya. Baik menyangkut aktivitas kenegaraan, keperluan ibadah maupun aktivitas lainnya.

Bahkan saat pemerintah Hindia-Belanda sedang menggencarkan penggunaan jas, termasuk celana, dan lengkap dengan sepatunya. Besar harapannya adalah semata-mata agar penjajahan ini bisa diterima oleh masyarakat luas dengan seutuhnya. Namun, para kiai dan pahlawan pada saat itu sudah menyadari niat busuk Belanda tersebut. Sehingga mereka membalasnya dengan mewajibkan para santri dan masyarakat untuk memakai sarung dan peci dalam aktivitasnya sehari-hari.

Pada era tersebut, identitas pakaian menjadi penyemangat patriotismenya masyarakat Indonesia untuk melawanan terhadap dominasi asing. Sehingga jiwa penolakan terhadap anasir kolonial sangat mengkuat. Ambil satu contoh, dalam sejarah perlawanannya dengan manggunakan sarung pernah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) ketika Muktamar ke-2 NU tepatnya pada tahun 1927. Dimana pesertanya ini terdiri dari para ulama dan pimpinan pondok pesantren.  Mereka memutuskan bahwa berpakaian menyerupai pakaian penjajah hukumnya adalah haram. Banyak kalangan memaknai bahwa keputusan ini sebagai puncak perlawanan simbolik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap praktik kolonialisme yang terjadi pada era tersebut.

Baca Juga  FILOSOFI : Berpikir Kritis, Bukan Sekedar Teknik Intelektual

Menjadi suatu potret buram pada waktu itu, kaum santri yang memiliki kebiasaan memakai sarung dan peci bukanlah orang-orang yang didengar dalam percaturan sosial, lebih-lebih urusan perpolitikan. Dan, perlu digarisbawahi dalam konteks Indonesia mereka lebih dikenal dengan sebutan udik. Padahal keberadaan sarung dan peci tidak hanya menjadi suatu simbol kebudayaan dan agama di Indonesia, akan tetapi juga menjadi bagian dari politik.

Ada suatu pengalaman menarik yang dicontohkan oleh Kiai panutan kita yaitu KH. Abdul Wahab Khasbullah. Pada saat beliau mendapatkan undangan dari Presiden Soekarno ke istana. Dimana undangan ini mewajibkan memakai jas dan dasi. Suatu hal yang menarik dan patut menjadi suatu pelajaran berharga bagi generasi kita adalah beliau pada waktu itu datang dengan atasan berupa jas tapi dengan bawahan tetap berupa sarung. Dari sini sebetulnya beliau ingin menunjukkan bahwa sarung merupakan warisan budaya dan juga identitas nasionalisme yang patut menjadi kebanggaan kita. Termasuk beliau juga ingin menunjukkan kepada masyarakat secara luas, bahwa sarung adalah salah satu bukti nyata perjuangan para santri dalam melawan penjajahan Belanda di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *