Penulis : Rahmad Sugianto, M.Pd.
Di sudut masjid, setiap hari sebelum azan berkumandang, seorang lelaki sederhana selalu hadir lebih awal. Ia adalah Sya’ban, seorang sahabat Nabi yang namanya tak setenar Abu Bakar atau Umar bin Khattab. Namun, ketulusannya dalam beribadah membuatnya istimewa di mata Rasulullah dan para sahabat lainnya. Sya’ban memilih sudut masjid untuk beriktikaf, agar tak mengganggu jamaah lain. Rutinitasnya ini begitu lekat dalam ingatan semua orang.
Namun, pagi itu ada yang berbeda. Saat azan subuh berkumandang, sosok Sya’ban tak terlihat di tempat biasanya. Rasulullah yang peka akan perubahan kecil ini segera bertanya kepada para sahabat, “Kemana Sya’ban?”. Sunyi. Tak seorang pun tahu.
Rasulullah menunggu sejenak sebelum memulai sholat berjamaah, berharap Sya’ban datang seperti biasanya. Namun, hingga iqamah dikumandangkan, ia tetap tak muncul. Hati Rasulullah dipenuhi kekhawatiran.
Usai sholat, beliau segera bertanya,
“Siapa yang tahu di mana rumah Sya’ban?”.
Salah seorang sahabat mengangguk dan segera mengantar Rasulullah serta beberapa sahabat lainnya menuju kediaman Sya’ban.
Perjalanan ke rumah Sya’ban ternyata cukup jauh. Menyusuri jalanan kota Madinah di pagi yang masih sepi, Rasulullah tampak tergesa. Sesampainya di sana, beliau mengetuk pintu dengan lembut.