Ning Farida Ulfi Na’imah : Tidak Sama dengan Yahudi, Islam Tetap Memuliakan Perempuan Saat Haid

Avatar photo

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah : 222)

Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Ad-Durr Al-Mantsur menafsirkan ayat di atas karena dihadapkan satu tradisi buruk kepada perempuan yang sedang haid. Jika istri orang Yahudi sedang haid mereka mengeluarkan perempuan dari rumah, tidak mau menemani makan dan minum dan tidak mau berkumpul dalam satu rumah. Para sahabat lantas menanyakan fenomena tersebut kepada Rasulullah SAW. Kemudian turunlah ayat di atas.

Rasulullah SAW kemudian menjelaskan agar tetap membersama istri di dalam rumah saat haid. Dibolehkan melakukan apa saja dengan istri kecuali jima’. Ada anggapan yang salah saat itu, karena haid dianggap najis, jika menyentuh air maka airnya akan menjadi najih. Padahal yang dilarang adalah menjauhi tempat keluarnya haid. Dua sahabat kembali bertanya kepada Rasulullah akan kebolehan aktifitas fisik dengan istrinya ketika haid kecuali jima’. Rasulullah SAW terlihat marah kemudian dua sahabat itu lantas keluar rumah Rasulullah SAW, padahal Rasulullah SAW belum menjawab.

Dua sahabat Rasulullah SAW yang bertanya mendapat kiriman susu dari Rasulullah SAW, yang menandakan Rasulullah SAW tidak marah. Pendapat lain tentang Asbabun Nuzul ayat di atas adalah ada perempuan Ansor bertanya kepada Rasulullah SAW kebolehan melakukan hubungan dengan suaminya saat haid kecuali jima’.

Baca Juga  Berikut Hasil Bahtsul Masail LBM PCNU Sidoarjo Tentang Harta Hasil Takziah

Imam Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin mengatakan sebaiknya perempuan yang haid menggunakan sarung yang bisa menutupi dari pusar sampai di bawah lutut. Tujuannya adalah agar tidak terjadi hubungan intim, menjaga diri perempuan dan bagian dari etika. Namun bagi seorang suami, menurut Imam Ghozali dibolehkan tidur berdampingan, makan bersama dan kegiatan suami istrinya lainnya. Artinya ajaran agama Yahudi yang mengucilkan perempuan yang sedang haid tidak tepat.

Imam Nawawi membolehkan berkontak fisik, mencium dan bersenang-senang dengan istri yang sedang haid asalkan tidak sampai pada jima’. Dari kisah-kisah di atas bisa dibayangkan betapa perempuan dikucilkan saat haid. Para ulama telah menjelaskan kebolehan perempuan melakukan aktifitas memasak dan kegiatan lainnya. Sisa air minum dari perempuan yang haid juga tidak dihukumi najis.

Pendapat-pendapat yang merendahkan perempuan merasuk atau mempengaruhi pada pandangan madzahibul arba’ah. Salah satu madzhab misalnya berpendapat batal shalatnya seseorang ketika dilewati perempuan haid, anjing dan keledai. Pendapat ini diambil dari riwayat Ibnu Abbas dan Imam Muslim. Namun hadist itu ditolak oleh Aisyah RA dengan dengan mengatakan tidak batal shalat seseorang jika dilewati perempuan haid, anjing dan keledai. Aisyah mempertanyakan kenapa perempuan disamakan dengan anjing dan keledai. Aisyah menceritakan sering dirinya diranjang sementara Rasulullah SAW shalat dan posisi ranjang Aisyah berada disisi kiblat. Bahkan sering kali kaki Aisyah berada ditempat sujud Rasulullah SAW saat shalat, kemudian saat hendak sujud Rasulullah SAW menyingkirkan kaki Aisyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *