Penulis : Elvandari Solina Astandi, S.Pd (Guru di SMP Islam Tanwirul Afkar)
Takjil, dalam tradisi masyarakat Indonesia, merujuk pada penganan berupa makanan atau minuman ringan yang disajikan untuk berbuka puasa. Menjelang waktu berbuka selama bulan Ramadan, aktivitas ngabuburit—yakni menghabiskan waktu sore sambil menunggu adzan maghrib—menjadi momen yang dinantikan. Apalagi tren selama dua tahun terakhir, baik umat Muslim maupun non-Muslim berbondong-bondong untuk berburu takjil di berbagai penjuru daerah. Fenomena yang dikenal dengan istilah “war takjil” alias berperang dalam perburuan makanan untuk berbuka, tidak hanya mencerminkan keragaman budaya Indonesia tetapi juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat melalui peningkatan aktivitas jual beli.
Namun, di balik semaraknya “war takjil”, terdapat sisi gelap yang perlu mendapat perhatian serius bersama yakni masalah lingkungan akibat timbunan sampah. Aktivitas jual beli takjil yang masif berpotensi meningkatkan volume sampah terutama sampah plastik sekali pakai seperti kantung kresek, botol plastik, styrofoam, dan gelas plastik. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, timbulan sampah di Indonesia mencapai 69,9 juta ton, dengan komposisi didominasi oleh sampah sisa makanan sebesar 41,60%, sampah plastik sebesar 18,71%. Sedangkan dari sisi sumber sampah, sampah terbanyak berasal dari rumah tangga dengan prosentasi sekitar 44,37%. Selain itu, menurut Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun .