Zaid bin Haritsah: Sahabat Istimewa yang Namanya Diabadikan dalam Al-Qur’an

Penulis : Rahmad Sugianto, M.Pd.

Di tengah padang pasir yang luas dan tandus, seorang anak kecil berlari ketakutan. Matahari membakar bumi, dan suara ringkikan kuda serta teriakan para penyerang bergema di udara. Kampungnya yang damai berubah menjadi lautan api dan kekacauan. Hari itu, Zaid bin Haritsah, bocah dari suku Bani Mu’in, harus menghadapi kenyataan pahit: ia ditangkap oleh sekelompok penyerang dari Bani al-Qin bin Jusr dan dijual sebagai budak di pasar Ukazh.

Di pasar perbudakan yang ramai, Zaid berdiri dalam keterpaksaan, tatapan matanya menerawang mencari harapan. Ia akhirnya dibeli oleh Hakim bin Hizam seharga 400 dirham untuk bibinya, Siti Khadijah. Takdir kemudian membawanya ke rumah seorang pria yang kelak akan menjadi pembawa cahaya bagi umat manusia—Muhammad bin Abdullah.

Ketika Siti Khadijah menikah dengan Muhammad, ia menghadiahkan Zaid kepada suaminya. Alih-alih diperlakukan sebagai budak, Zaid menemukan kasih sayang dan perlindungan dalam rumah tangga Nabi. Hubungan keduanya semakin erat, hingga suatu hari, kabar tentang keberadaan Zaid sampai ke telinga ayahnya, Haritsah bin Syarahil. Dengan hati yang penuh harap, Haritsah datang menemui Muhammad, membawa tebusan demi membawa putranya pulang.

Namun, keputusan ada di tangan Zaid. Dengan penuh keyakinan, ia berkata kepada ayahnya, “Aku tidak akan memilih siapa pun selain Muhammad. Aku telah melihat sesuatu dalam dirinya yang membuatku tak ingin meninggalkannya.” Terharu oleh kesetiaan Zaid, Muhammad mengangkatnya sebagai anak dan sejak saat itu, ia dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.

Tapi takdir terus bergerak. Beberapa tahun kemudian, wahyu turun yang mengubah segalanya. Allah menegaskan bahwa anak angkat tidak boleh dinisbatkan kepada orang tua angkatnya, melainkan kepada ayah kandungnya. Maka, Zaid kembali kepada nama aslinya, Zaid bin Haritsah. Meskipun demikian, kedudukannya di sisi Rasulullah tidak pernah berkurang sedikit pun.

Baca Juga  Konsep Tabarukan Dalam Islam

Di medan perang, Zaid membuktikan keberaniannya. Ketika Islam mulai disebarkan secara terbuka, ia berada di garis depan. Salah satu ujian terberat dalam hidupnya adalah pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy, seorang wanita Quraisy dari keturunan bangsawan. Namun, pernikahan itu tidak berjalan baik, dan akhirnya mereka bercerai. Tak lama setelah itu, Allah memerintahkan Rasulullah untuk menikahi Zainab, menghapus tradisi jahiliyah yang melarang seorang ayah menikahi mantan istri anak angkatnya. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an, menjadikan Zaid satu-satunya sahabat yang namanya disebut dalam kitab suci.

Puncak pengabdian Zaid terjadi dalam Perang Mu’tah. Rasulullah menunjuknya sebagai panglima perang, memimpin pasukan Muslim melawan pasukan Romawi yang jauh lebih besar. Di medan perang yang sengit, Zaid bertempur dengan gagah berani, membawa panji Islam dengan teguh. Namun, tombak musuh menembus tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah. Di bawah langit Syam, Zaid bin Haritsah mengembuskan napas terakhirnya sebagai syahid, meninggalkan jejak pengabdian yang abadi.

Editor: Boy Ardiansyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *